Follow Us :

TAX REGULATIONS

Peraturan Dirjen Pajak
No. PER - 25/PJ/2009

TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

 

PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK
NOMOR PER – 25/PJ/2009

TENTANG

TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

Menimbang :
  1. bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum dan
    meningkatkan
    pelayanan kepada Wajib Pajak, perlu mengatur kembali tata cara
    pengajuan dan penyelesaian keberatan Pajak Bumi dan Bangunan;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
    huruf a,
    perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara
    Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan;
Mengingat :

Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN
PENYELESAIAN KEBERATAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan :

  1. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya
    disebut
    dengan UU PBB adalah Undang-Undang
    Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak
    Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
    12 Tahun 1994. 
  2. Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut
    dengan
    Keberatan adalah Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 15 UU PBB.
  3. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disebut
    dengan SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak
    untuk memberitahukan besarnya PBB terutang kepada Wajib Pajak.
  4. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang
    selanjutnya
    disebut dengan SKP PBB adalah Surat Ketetapan Pajak sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) UU PBB.
  5. Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang selanjutnya disebut
    dengan
    KPP Pratama adalah KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi
    letak objek pajak. 
  6. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya
    disebut dengan Kanwil DJP adalah Kantor Wilayah Direktorat
    Jenderal Pajak yang membawahkan KPP Pratama.

Pasal 2

Wajib Pajak dapat mengajukan Keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak
atas :

  1. SPPT; atau
  2. SKP PBB.
Pasal 3

(1) Wajib
Pajak dapat mengajukan Keberatan dalam hal :

  1. Wajib Pajak berpendapat bahwa luas objek pajak bumi
    dan/atau bangunan atau nilai jual objek pajak bumi dan/atau bangunan
    tidak sebagaimana mestinya; dan/atau
  2. terdapat perbedaan penafsiran peraturan
    perundang-undangan PBB.
(2) Keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan secara :

  1. perseorangan atau kolektif untuk SPPT; atau
  2. perseorangan untuk SKP PBB.
Pasal 4

(1) Pengajuan
Keberatan secara perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2) harus memenuhi persyaratan :

  1. satu surat Keberatan untuk 1 (satu) SPPT atau SKP PBB;
  2. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  3. diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak dan
    disampaikan ke KPP Pratama;
  4. dilampiri asli SPPT atau SKP PBB yang diajukan
    Keberatan;
  5. dikemukakan jumlah PBB yang terutang menurut
    penghitungan
    Wajib Pajak disertai dengan alasan yang mendukung pengajuan
    Keberatannya;
  6. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak
    tanggal
    diterimanya SPPT atau SKP PBB, kecuali apabila Wajib Pajak atau
    kuasanya dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi
    karena keadaan di luar kekuasaannya; dan
  7. surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan
    dalam hal surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak:
    1. harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus, untuk
      Wajib
      Pajak orang pribadi dengan PBB yang terutang lebih banyak dari Rp
      2.000.000,00 (dua juta rupiah) atau Wajib Pajak badan;atau
    2. harus dilampiri dengan surat kuasa, untuk Wajib
      Pajak
      orang pribadi dengan PBB yang terutang paling banyak Rp 2.000.000,00
      (dua juta rupiah).
(2) Pengajuan
Keberatan secara kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
huruf a harus memenuhi persyaratan ;

  1. satu pengajuan untuk beberapa SPPT Tahun Pajak yang
    sama;
  2. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  3. PBB yang terutang untuk setiap SPPT paling banyak Rp
    200.000,00 (dua ratus ribu rupiah);
  4. diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak dan
    disampaikan ke KPP Pratama;
  5. diajukan melalui Kepala Desa/Lurah setempat;
  6. dilampiri asli SPPT yang diajukan Keberatan;
  7. mengemukakan jumlah PBB yang terutang menurut
    penghitungan
    Wajib Pajak disertai dengan alasan yang mendukung pengajuan
    Keberatannya; dan
  8. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak
    tanggal
    diterimanya SPPT, kecuali apabila Wajib Pajak melalui Kepala Desa/Lurah
    setempat dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi
    karena keadaan di luar kekuasaannya.
(3) Tanggal
penerimaan surat Keberatan yang dijadikan dasar untuk memproses surat
Keberatan adalah :

  1. tanggal terima surat Keberatan, dalam hal disampaikan
    secara langsung oleh Wajib Pajak atau kuasanya kepada petugas Tempat
    Pelayana Terpadu (TPT) atau petugas yang ditunjuk; atau
  2. tanggal tanda pengiriman surat Keberatan, dalam hal
    disampaikan melalui pos dengan bukti pengiriman surat.
(4) Untuk
memperkuat alasan pengajuan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf e dan ayat (2) huruf g, pengajuan Keberatan disertai dengan :

  1. fotokopi identitas Wajib Pajak, dan fotokopi
    identitas kuasa Wajib Pajak dalam hal dikuasakan;
  2. fotokopi bukti kepemilikan tanah;
  3. fotokopi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB); dan/atau
  4. fotokopi bukti pendukung lainnya.
Pasal 5

(1) Pengajuan
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) atau ayat (2), dianggap bukan sebagai surat Keberatan
sehingga tidak dapat dipertimbangkan.
(2) Dalam
hal pengajuan Keberatan tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP Pratama dalam jangka waktu paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan surat Keberatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), harus memberitahukan
secara tertulis disertai alasan yang mendasari kepada :

  1. Wajib Pajak atau kuasanya dalam hal pengajuan
    Keberatan secara perseorangan; atau
  2. Kepala Desa/Lurah setempat dalam hal pengajuan
    Keberatan secara kolektif.
(3) Dalam
hal pengajuan Keberatan tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak masih dapat mengajukan Keberatan
kembali sepanjang memenuhi jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf f dan ayat (2) huruf h.
Pasal 6

(1) Untuk
keperluan pengajuan Keberatan, Wajib Pajak dapat meminta keterangan
secara tertulis mengenai dasar pengenaan dan/atau penghitungan PBB yang
terutang kepada Kepala KPP Pratama.
(2) Kepala
KPP Pratama harus memberi keterangan yang diminta oleh Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak surat permintaan Wajib Pajak diterima.
(3) Jangka
Waktu pemberian keterangan oleh Kepala KPP Pratama atas permintaan
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menunda jangka
waktu pengajuan Keberatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1)
huruf f dan ayat (2) huruf h.
Pasal 7

Pengajuan Keberatan
tidak menunda kewajiban membayar PBB yang terutang dan pelaksanaan
penagihannya.
Pasal 8

(1) Kepala
Kanwil DJP atas nama Direktur Jenderal Pajak berwenang memberikan
keputusan atas pengajuan Keberatan dalam hal PBB yang terutang paling
banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
(2) Direktur
Jenderal Pajak berwenang memberikan keputusan atas pengajuan Keberatan
dalam hal PBB yang terutang lebih banyak dari Rp 1.500.000.000,00 (satu
milyar lima ratus juta rupiah).
Pasal 9

(1) Keputusan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
berdasarkan hasil penelitian di kantor dan apabila diperlukan, dapat
dilanjutkan dengan penelitian di lapangan.
(2) Penelitian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat tugas
dan hasilnya dituangkan dalam laporan hasil penelitian.
(3) Dalam
hal dilakukan penelitian di lapangan, pejabat serendah-rendahnya
setingkat Eselon III terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis
waktu pelaksanaan penelitian di lapangan kepada Wajib Pajak.
(4) Dalam
hal kewenangan memberikan keputusan berada pada Kepala Kanwil DJP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), penelitian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh ;

  1. Kanwil DJP dalam hal letak objek pajak berada dalam
    satu Kabupaten/Kota dengan tempat kedudukan Kanwil DJP;
  2. Kanwil DJP atau KPP Pratama dalam hal letak objek
    pajak
    berada tidak dalam satu Kabupaten/Kota dengan tempat kedudukan Kanwil
    DJP dan Keberatan diajukan secara perseorangan; atau
  3. KPP Pratama dalam hal letak objek pajak berada tidak
    dalam
    satu Kabupaten/Kota dengan tempat kedudukan Kanwil DJP dan Keberatan
    diajukan secara kolektif.
(5) Pembagian
kewenangan pelaksanaan penelitian oleh Kanwil DJP atau KPP Pratama
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b ditetapkan dengan Keputusan
Kepala Kanwil DJP.
Pasal 10

(1) Dalam
hal kewenangan memberikan keputusan berada pada Kepala Kanwil DJP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Kepala KPP Pratama
meneruskan berkas pengajuan Keberatan kepada Kepala Kanwil DJP dalam
jangka waktu paling lama:

  1. 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan
    surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dalam hal
    penelitian dilaksanakan oleh Kanwil DJP sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 9 ayat (4) huruf a dan huruf b; atau
  2. 2 (dua) bulan sejak tanggal penerimaan surat
    Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dalam hal
    penelitian dilaksanakan oleh KPP Pratama sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 9 ayat (4) huruf b dan huruf c, disertai laporan hasil penelitian
    Keberatan.
(2) Dalam
hal kewenangan memberikan keputusan berada pada Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Kepala KPP Pratama
meneruskan berkas pengajuan Keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak
dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
penerimaan surat Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).
Pasal 11

(1) Kepala
Kanwil DJP atau Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama
12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan surat Keberatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), harus memberi suatu
keputusan atas pengajuan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) atau ayat (2).
(2) Keputusan
Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa menerima
seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah PBB
yang terutang.
(3) Apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan
keputusan belum diterbitkan, pengajuan Keberatan dianggap dikabulkan
dan diterbitkan keputusan sesuai dengan pengajuan Wajib Pajak
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka
waktu dimaksud berakhir.
(4) Dalam
hal keputusan Keberatan menyebabkan perubahan data dalam SPPT atau SKP
PBB, KPP Pratama menerbitkan SPPT atau SKP PBB baru berdasarkan
keputusan Keberatan tanpa merubah saat jatuh tempo pembayaran.
(5) SPPT
atau SKP PBB baru sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak bisa
diajukan Keberatan.
Pasal 12

Dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Wajib
Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis
sepanjang surat keputusan Keberatan belum diterbitkan.
Pasal 13

Bentuk formulir :
  1. Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Keberatan Pajak
    Bumi dan Bangunan berdasarkan pengajuan secara perseorangan adalah
    sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal
    Pajak ini;
  2. Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Keberatan Pajak
    Bumi dan
    Bangunan berdasarkan pengajuan secara kolektif adalah sebagaimana
    ditetapkan pada Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini; dan
  3. Keputusan Kepala Kanwil DJP sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 9 ayat (5) adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran III
    Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 14

Pada saat Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor 59/PJ./2000
tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi dan
Bangunan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali untuk Keberatan
yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 15

Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Maret 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

DARMIN NASUTION
NIP 130605098 

error: Content is protected