Follow Us :

TAX REGULATIONS

Undang-Undang
No. 42 TAHUN 2009

PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

 

UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2009

TENTANG

PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan
    keadilan, menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana serta
    mengamankan
    penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara
    mandiri, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 8
    Tahun
    1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
    Pajak
    Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
    terakhir dengan Undang-Undang
    Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan
    Kedua atas Undang-Undang
    Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
    Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
    huruf a,
    perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga Atas
    Undang-Undang
    Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
    dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal
    23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang
    Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
    Tata
    Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
    49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
    telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
    16 Tahun
    2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
    Pengganti Undang-Undang
    Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6
    Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
    Menjadi
    Undang-Undang  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
    Nomor 62 ,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  3. Undang-Undang
    Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
    Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara
    Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
    Republik
    Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
    dengan Undang-Undang
    Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
    Nomor 8 Tahun 1983 tentang
    Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
    Mewah (Lembaran Negara Republik
    Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik
    Indonesia Nomor 3986);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN
1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN
PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor 3264) yang telah beberapa kali diubah dengan
Undang-Undang:

  1. Nomor 11
    Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
    1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3568);
  2. Nomor 18
    Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
    2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986),

diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan
Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Daerah Pabean adalah
    wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan
    ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
    Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang
    yang mengatur mengenai kepabeanan.
  2. Barang
    adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa
    barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
  3. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak
    berdasarkan Undang-undang ini.
  4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan
    penyerahan Barang Kena Pajak.
  5. Jasa
    adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau
    perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas,
    kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan
    untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan
    dan atas petunjuk dari pemesan.
  6. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai
    pajak berdasarkan Undang-undang ini.
  7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan
    pemberian Jasa Kena Pajak.
  8. Pemanfaatan
    Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan
    pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
    Pabean.
  9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari
    luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
  10. Pemanfaatan
    Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap
    kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
    Pabean di dalam Daerah Pabean.
  11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
    adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari
    dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
  12. Perdagangan adalah
    kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar menukar
    barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
  13. Badan adalah sekumpulan
    orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
    maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
    perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau
    Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma,
    kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
    organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
    lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif
    dan Bentuk Usaha Tetap.
  14. Pengusaha adalah orang pribadi atau
    badan dalam
    bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau
    pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang
    melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari
    luar Daerah Pabean melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau
    memanfaatkan jasa dari luar Daerah
    Pabean.
  15. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha
    yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
    penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan
    Undang-undang ini.
  16. Menghasilkan
    adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat
    suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai
    daya guna baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk
    menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
  17. Dasar
    Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor,
    Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang dipakai sebagai dasar untuk
    menghitung pajak yang terutang.
  18. Harga Jual adalah nilai berupa uang,
    termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual
    karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan
    Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang
    dicantumkan dalam Faktur Pajak.
  19. Penggantian adalah nilai berupa
    uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
    pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena
    Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak
    termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut
    Undang-Undang ini dan potongan
    harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak, atau nilai berupa uang yang
    dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan
    Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak
    Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
    dari
    luar
    Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
  20. Nilai Impor adalah nilai
    berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan
    berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
    mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak,
    tidak
    termasuk
    Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
    dipungut menurut Undang-Undang ini.
  21. Pembeli
    adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima
    penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar
    harga Barang Kena Pajak tersebut.
  22. Penerima jasa adalah orang pribadi
    atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena
    Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa
    Kena Pajak tersebut.
  23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang
    dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena
    Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
  24. Pajak Masukan adalah Pajak
    Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena
    Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena
    Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
    Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
    Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
  25. Pajak Keluaran adalah Pajak
    Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena
    Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena
    Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak
    Tidak Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
  26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua
    biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
  27. Pemungut
    Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara Pemerintah, badan, atau
    instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut,
    menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak
    atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
    kepada bendahara Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah
    tersebut.
  28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap
    kegiatan
    penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah
    Pabean di luar Daerah Pabean.
  29. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan
    penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.
2. Ketentuan
Pasal 1A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1A

(1) Yang
termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:

  1. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena
    suatu perjanjian;
  2. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu
    perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
  3. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang
    perantara atau melalui juru lelang;
  4. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma
    atas Barang Kena Pajak;
  5. Barang
    Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula
    tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
    perusahaan;
  6. penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke
    Cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar
    Cabang;
  7. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi;
    dan
  8. penyerahan
    Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian
    pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang
    penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak
    yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
(2) Yang
tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:

  1. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar
    sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang;
  2. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan
    utang-piutang;
  3. Penyerahan
    Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f dalam hal
    Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
  4. pengalihan
    Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran,
    pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak
    yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha
    Kena Pajak; dan
  5. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut
    tujuan
    semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
    pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak
    dapat
    dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
    (8) huruf b dan huruf c.
3. Ketentuan
Pasal 3A diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3A

(1) Pengusaha
yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf a,
huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang
batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dan wajib memungut,
menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang terutang.
(1a) Pengusaha
Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Pengusaha
Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Orang
pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1)
huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib memungut,
menyetor,
dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang penghitungan
dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.”
4. Ketentuan
Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4

(1) Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas:

  1. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah
    Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
  2. impor Barang Kena Pajak;
  3. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah
    Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
  4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
    dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
  5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
    Pabean di dalam Daerah Pabean;
  6. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh
    Pengusaha Kena Pajak;
  7. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh
    Pengusaha Kena Pajak; atau
  8. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena
    Pajak.
(2) Ketentuan
mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya
dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf h diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
5. Ketentuan
Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4A

(1) Dihapus.
(2) Jenis
barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang
tertentu dalam kelompok
barang sebagai berikut:

  1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran
    yang diambil langsung dari sumbernya;
  2. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan
    oleh rakyat banyak;
  3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel,
    restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan
    minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan
    dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
  4. uang, emas batangan, dan surat berharga.
(3) Jenis
jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa
tertentu dalam kelompok
jasa sebagai berikut:

  1. jasa pelayanan kesehatan medis;
  2. jasa pelayanan sosial;
  3. jasa pengiriman surat dengan perangko;
  4. jasa keuangan;
  5. jasa asuransi;
  6. jasa keagamaan;
  7. jasa pendidikan;
  8. jasa kesenian dan hiburan;
  9. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
  10. jasa
    angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam
    negeri
    yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara
    luar negeri;
  11. jasa tenaga kerja;
  12. jasa perhotelan;
  13. jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam
    rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
  14. Jasa penyediaan tempat parkir;
  15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
  16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
  17. Jasa boga atau katering
6. Ketentuan
Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5

(1) Disamping
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
terhadap:

  1. Penyerahan
    Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh Pengusaha
    yang menghasilkan barang tersebut di
    dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
  2. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
(2) Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu
penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh Pengusaha yang
menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah.
7. Ketentuan
Pasal 5A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5A

(1) Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah atas penyerahan
Barang Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang terutang
dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut.
(2) Pajak
Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibatalkan, baik
seluruhnya maupun sebagian, dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pembatalan tersebut.
(3) Ketentuan
mengenai tata
cara pengurangan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengurangan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
8. Ketentuan
Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 7

(1) Tarif
Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
(2) Tarif
Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:

  1. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
  2. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
    dan/atau
  3. ekspor Jasa Kena Pajak.
(3) Tarif
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi
15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
9. Ketentuan
Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8

(1) Tarif
Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10%
(sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
(2) Ekspor
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenakan pajak dengan tarif 0%
(nol persen).
(3) Ketentuan
mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Ketentuan
mengenai jenis Barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
10. Diantara
Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A yang
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8A

(1) Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan
Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor,
atau nilai lain.
(2) Ketentuan
mengenai nilai lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
11. Ketentuan
Pasal 9 ayat (1) dihapus, ayat (2), ayat (2a), ayat 3, ayat (4), ayat
(5), ayat (6), ayat (7), ayat
(8), ayat (13) dan ayat (14) diubah, diantara ayat (2a) dan ayat (3)
disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2b), diantara ayat (4) dan ayat
(5) disisipkan 6 (enam) ayat, yakni ayat (4a) sampai dengan ayat
(4f), diantara
ayat (6) dan ayat (7) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (6a) dan ayat
(6b), dan diantara ayat (7) dan ayat (8) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni
ayat (7a) dan ayat
(7b), sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9

(1) Dihapus.
(2) Pajak
Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam
Masa Pajak yang sama.
(2a) Bagi
Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan
penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau
impor barang modal dapat dikreditkan.
(2b) Pajak
Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)
dan ayat (9).
(3) Apabila
dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus
disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.
(4) Apabila
dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih
besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan
pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
(4a) Atas
kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku.
(4b) Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimasud pada ayat (4) dan ayat
(4a), atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan
pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:

  1. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor
    Barang Kena Pajak Berwujud;
  2. Pengusaha
    Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
    penyerahan Jasa
    Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
  3. Pengusaha Kena
    Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
    Jasa Kena
    Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
  4. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor
    Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
  5. Pengusaha
    Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
  6. Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum
    berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
(4c) Pengembalian
kelebihan Pajak Masukan kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang mempunyai
kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah, dilakukan dengan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
(4d) Ketentuan
mengenai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah yang diberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(4c) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(4e) Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap pengusaha Kena
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) dan menerbitkan surat
ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan
pajak.
(4f) Apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4e),
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
dan
Perubahannya.
(5) Apabila
dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak
terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat
diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan
penyerahan yang terutang pajak.
(6) Apabila
dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak
terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang
pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung
dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
(6a) Pajak
Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan
telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena
Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal
berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Masa
Pajak Pengkreditan Pajak Masukan dimulai.
(6b) Ketentuan
mengenai penentuan waktu, penghitungan, dan tata cara pembayaran
kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(7) Besarnya
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang
peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu,
kecuali Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(7a),
dapat dihitung dengan menggunakan
pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
(7a) Besarnya
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan
pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
(7b) Ketentuan
mengenai peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kegiatan
usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dan
pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) dan ayat (7a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(8) Pengkreditan
Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat
diberlakukan bagi pengeluaran untuk:

  1. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
    Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  2. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
    Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
  3. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor
    berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau
    disewakan;
  4. pemanfaatan
    Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari
    luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
    Pajak;
  5. dihapus;
  6. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
    Pajak
    yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
    dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan
    nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak
    atau penerima Jasa
    Kena Pajak;
  7. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
    atau
    pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur
    Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
    ayat (6);
  8. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
    Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
  9. perolehan
    Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak
    dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
    Pertambahan Nilai, yang
    ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan
  10. perolehan Barang Kena
    Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena
    Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
(9) Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan
Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa
Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa
Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan
belum dilakukan pemeriksaan.
(10) Dihapus.
(11) Dihapus.
(12) Dihapus.
(13) Ketentuan
mengenai penghitungan
dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4a), ayat (4b), dan ayat (4c) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(14) Dalam
hal terjadi pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan
usaha, Pajak
Masukan atas Barang Kena
Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak
yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak
yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah
terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum
dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.
12. Ketentuan
Pasal 11 ayat (1) dan Penjelasan ayat (2) diubah sehingga Pasal 11
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11

(1) Terutangnya
pajak terjadi pada saat:

  1. penyerahan Barang Kena Pajak;
  2. impor Barang Kena Pajak;
  3. penyerahan Jasa Kena Pajak;
  4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
    dari luar Daerah Pabean;
  5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
    Pabean;
  6. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
  7. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
  8. ekspor Jasa Kena Pajak.
(2) Dalam
hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan
sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
atau Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean, saat
terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
(3) dihapus.
(4) Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya
pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi
perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
(5) dihapus.
13. Ketentuan
Pasal 12 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) diubah, sehingga Pasal 12
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12

(1) Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h
terutang pajak di
tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan
usaha
dilakukan atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan
dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.
(2) Atas
pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha Kena Pajak,
Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat atau lebih sebagai
tempat pajak terutang.
(3) Dalam
hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak
dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(4) Orang
pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan huruf e
terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat
kegiatan usaha.
14. Ketentuan
Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13

(1) Pengusaha
Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:

  1. penyerahan Barang
    Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau
    huruf f
    dan/atau Pasal 16D;
  2. penyerahan Jasa Kena Pajak
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;
  3. ekspor
    Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
    ayat (1) huruf g; dan/atau
  4. ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud
    dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h.
(1a) Faktur
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:

  1. saat penyerahan Barang Kena Pajak
    dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak; 
  2. saat penerimaan pembayaran
    dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena
    Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
  3. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal
    penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
  4. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan
    Peraturan Menteri Keuangan. 
(2) Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak
dapat membuat 1 (satu) satu Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan
yang
dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena
Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.
(2a) Faktur
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling
lama pada akhir bulan penyerahan.
(3) Dihapus.
(4) Dihapus.
(5) Dalam
Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling
sedikit memuat:

  1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang
    menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
  2. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak
    pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
  3. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau
    Penggantian, dan potongan harga;
  4. pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
  5. pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
  6. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur
    Pajak; dan
  7. nama dan tanda tangan yang berhak
    menandatangani Faktur Pajak.
(6) Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(7) Dihapus.
(8) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur
Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(9) Faktur
Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.
15. Diantara
Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A
sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 15 A

(1) Penyetoran
Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (3) harus dilakukan paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
(2) Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama
akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
16.  Ketentuan
Pasal 16B ayat (1) diubah sehingga Pasal 16B berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16B

(1) Pajak
terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari
pengenaan
pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:

  1. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat
    tertentu di dalam Daerah Pabean;
  2. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau
    penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
  3. impor Barang Kena Pajak tertentu;
  4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
    tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
  5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar
    Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
(2) Pajak
Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak
Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.
(3) Pajak
Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
17. Ketentuan
Pasal 16D diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16D

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak
berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak
Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (8) huruf b dan huruf c.”

18. Diantara
Pasal 16 D dan Pasal 17 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 16 E dan
Pasal 16 F sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16E

(1) Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah
dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah
Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri dapat diminta
kembali.
(2) Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
syarat:

  1. Nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit
    sebesar
    Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan
    Peraturan Pemerintah;
  2. Pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam
    jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah
    Pabean; dan
  3. Faktur
    Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
    (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan alamat
    pembeli diisi dengan
    nomor paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas
    penjualan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak
    mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Permintaan
kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat
orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan
disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat
Jenderal Pajak di Bandar Udara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Dokumen
yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah :

  1. Paspor;
  2. pas naik (boarding pass)
    untuk keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1) ke luar Daerah Pabean; dan
  3. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
    huruf c.
(5) Ketentuan
mengenai tata
cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
Pasal 16 F

Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung
jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat
menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar.

PASAL II

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 150

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2009

TENTANG

PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

  1. U M U M
Pajak Pertambahan Nilai
adalah pajak
atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara
bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi.
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sangat dipengaruhi oleh perkembangan
transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek
dari Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis
baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional, terus
menciptakan jenis serta pola transaksi bisnis yang baru. Sebagai
contoh, di bidang jasa, banyak timbul transaksi jasa baru
atau modifikasi dari transaksi sebelumnya yang pengenaan Pajak
Pertambahan Nilainya belum diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai.
Dalam rangka menjawab perubahan yang sangat cepat
tersebut, perlu dilakukan pembaruan dan penyempurnaan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Pembaruan (reformasi) sistem
pajak konsumsi telah dilakukan pada tahun 1983 dengan diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Langkah pembaruan dan
penyempurnaan terus dilakukan secara konsisten pada tahun 1994 dengan
diterbitkannya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1994 dan terakhir tahun
2000 dengan diterbitkannya Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2000.
Perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai ini bertujuan sebagai berikut :

1 Meningkatkan
kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Perkembangan
transaksi bisnis, terutama jasa, telah menciptakan jenis dan pola
transaksi baru yang perlu ditegaskan lebih lanjut pengenaannya dalam
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
2 Menyederhanakan
sistem Pajak Pertambahan Nilai.
Penyederhanaan
sistem Pajak Pertambahan Nilai dilakukan dengan mengubah atau
menyempurnakan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
yang menyulitkan Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya.
3 Mengurangi
Biaya Kepatuhan.
Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan
Nilai diharapkan pula dapat mengurangi biaya, baik biaya administrasi
bagi Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya maupun
biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka
mengawasi kepatuhan Wajib Pajak
4 Meningkatkan
Kepatuhan Wajib Pajak.
Tercapainya tujuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan
sukarela Wajib Pajak. Tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi diharapkan
dapat meningkatkan penerimaan pajak yang tercermin dengan naiknya rasio
pajak (tax
ratio).
5 Tidak
Mengganggu Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai.
Disamping tujuan di atas, fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara
tetap menjadi pertimbangan.
6 Mengurangi
distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi.

  1. PASAL DEMI PASAL
PASAL I

Angka 1

Pasal 1

Cukup jelas

Angka 2

Pasal 1A

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan
“Perjanjian” meliputi jual beli, tukar menukar, jual
beli dengan
angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas
barang.

Huruf b

Penyerahan Barang Kena
Pajak dapat
terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa
guna usaha  (leasing).
Yang dimaksud dengan “pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu
perjanjian
sewa guna usaha (leasing)” adalah penyerahan Barang Kena Pajak
yang disebabkan oleh
perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi.
Dalam hal penyerahan
Barang Kena Pajak
oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna
usaha (leasing) dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap
diserahkan langsung
dari Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada pihak yang
membutuhkan barang
(lessee).

Huruf c

Yang dimaksud dengan
“pedagang perantara” adalah orang pribadi atau badan yang
dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan
atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau balas
jasa tertentu, misalnya komisioner.
Yang dimaksud dengan “juru lelang” adalah juru lelang Pemerintah atau
yang ditunjuk oleh Pemerintah.

Huruf d

Yang dimaksud dengan
“pemakaian sendiri” adalah pemakaian
untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik
barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.
Yang dimaksud dengan “pemberian cuma-cuma” adalah pemberian
yang diberikan tanpa
pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri,
seperti pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau
pembeli.

Huruf e

Barang Kena Pajak berupa
persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan,
yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan
pemakaian sendiri, sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena
Pajak.
Dikecualikan dari ketentuan pada huruf e ini adalah penyerahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A ayat (2) huruf e.

Huruf f

Dalam hal suatu perusahaan
mempunyai
lebih dari satu tempat pajak terutang baik sebagai pusat maupun sebagai
cabang perusahaan, pemindahan Barang Kena Pajak antar tempat
tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak.
Yang dimaksud dengan “pusat” adalah tempat tinggal atau
tempat kedudukan.
Yang dimaksud dengan “cabang” antara lain
lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran dan tempat kegiatan usaha
sejenisnya.

Huruf g

Dalam hal penyerahan
secara konsinyasi,
Pajak Pertambahan Nilai yang sudah dibayar pada waktu Barang Kena Pajak
yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan dengan
Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak
yang dititipkan tersebut.
Sebaliknya, jika Barang Kena Pajak titipan tersebut tidak laku dijual
dan diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik Barang Kena Pajak,
Pengusaha yang menerima titipan tersebut dapat menggunakan ketentuan
mengenai pengembalian Barang Kena Pajak (retur) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5A Undang-undang ini.

Huruf h

Contoh:
Dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana
untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena
Pajak A atas pesanan Nasabah Bank Syariah (Tuan B).
Meskipun berdasarkan prinsip Syariah, Bank Syariah
harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian
menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan
Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap
dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada
Tuan B.

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan
“makelar” adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-undang Hukum Dagang yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh
Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang
untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan
pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan
atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan
kerja.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Dalam hal Pengusaha Kena
Pajak mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai
pusat maupun cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Pajak, pemindahan Barang Kena Pajak dari satu tempat
kegiatan usaha ke tempat
kegiatan usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antarcabang)
dianggap tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak,
kecuali pemindahan Barang Kena Pajak antartempat pajak terutang.

Huruf d

Yang dimaksud dengan
“pemecahan usaha”
adalah pemisahan usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai perseroan terbatas.

Huruf e

Barang Kena Pajak berupa
aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa
pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan atas perolehannya
tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b
dan/atau aktiva berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon, yang
Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c, tidak termasuk dalam
pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak.

Angka 3

Pasal 3A

Ayat (1)

Pengusaha yang melakukan
penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah
Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor
Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan:

  1. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
    Pajak;
  2. memungut pajak yang terutang;
  3. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus
    dibayar
    dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat
    dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
    terutang; dan
  4. melaporkan penghitungan pajak.

Kewajiban di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Ayat (1a)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pengusaha Kecil
diperkenankan untuk
memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Apabila pengusaha
kecil memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak, Undang-undang ini
berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil tersebut.

Ayat (3)

Pajak Pertambahan Nilai
yang terutang
atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean harus dipungut oleh orang pribadi atau badan
yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena
Pajak
tersebut.
Angka 4

Pasal 4

Ayat (1)

Huruf a

Pengusaha yang melakukan
kegiatan
penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:

  1. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak,
  2. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena
    Pajak Tidak Berwujud,
  3. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
  4. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
    pekerjaannya.
Huruf b

Pajak juga dipungut pada
saat impor Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
Berbeda dengan penyerahan Barang Kena Pajak pada huruf
a, siapapun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke dalam Daerah
Pabean, tanpa
memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai pajak.
Huruf c

Pengusaha yang melakukan
kegiatan
penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:

  1. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak,
  2. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
  3. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena
Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri
dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma.

Huruf d

Untuk dapat memberikan
perlakuan
pengenaan pajak yang sama dengan impor Barang Kena Pajak, atas
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean
yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean juga dikenai
Pajak Pertambahan Nilai.
Contoh:
Pengusaha A yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak
menggunakan merek yang dimiliki Pengusaha B yang
berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh
Pengusaha A di dalam Daerah Pabean terutang Pajak
Pertambahan Nilai.
Huruf e

Jasa yang berasal dari
luar Daerah
Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah Pabean dikenai
Pajak Pertambahan Nilai.
Misalnya, Pengusaha Kena Pajak C di Surabaya memanfaatkan
Jasa Kena Pajak dari Pengusaha B yang berkedudukan di
Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak
Pertambahan Nilai.
Huruf f

Berbeda dengan Pengusaha
yang melakukan
kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan/atau huruf
c, Pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
hanya
Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).
Huruf g

Sebagaimana halnya dengan
kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, pengusaha yang melakukan
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3A ayat (1).
Yang dimaksud dengan “Barang Kena Pajak Tidak Berwujud” adalah
: 

  1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang
    kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model,
    rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak
    kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
  2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan
    industrial, komersial, atau ilmiah;
  3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah,
    teknikal, industrial, atau komersial;
  4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan
    penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1,
    penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada
    angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka
    3, berupa :

    a) penerimaan
    atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang
    disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serta optik, atau
    teknologi yang serupa;
    b) penggunaan
    atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya,
    untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui
    satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
    c) penggunaan
    atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radion komunikasi;
  5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion
    picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita
    suara untuk siaran radio; dan
  6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan
    dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial
    atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Huruf h

Termasuk dalam pengertian
ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam
Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang
menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar
pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di
luar Daerah Pabean.

Ayat (2)

Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 4A

Ayat (1)

Cukup Jelas

Ayat (2)

Huruf a

 Barang hasil
pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya
meliputi:

  1. minyak mentah (crude oil);
  2. gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap
    dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
  3. panas bumi;
  4. asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu
    apung,
    batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu
    (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit,
    magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil,
    pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers
    earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit,
    basal, dan trakkit;
  5. batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
  6. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih
    nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
Huruf b

Barang kebutuhan pokok
yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:

  1. beras;
  2. gabah;
  3. jagung;
  4. sagu;
  5. kedelai;
  6. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
  7. daging, yaitu daging segar yang diolah, tetapi telah
    melalui
    proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas
    atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara
    lain, dan/atau direbus;
  8. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang
    dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
  9. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses
    didinginkan
    maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya,
    dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
  10. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik
    yang
    telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris,
    di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
  11. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci,
    ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar
    yang dicacah.
Huruf c

Ketentuan ini dimaksudkan
untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek
pengenaan Pajak Daerah.

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Jasa pelayanan kesehatan
medis meliputi:

  1. jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
  2. jasa dokter hewan;
  3. jasa ahli kesehatan sperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli
    gizi, dan ahli fisioterapi;
  4. jasa kebidanan dan dukun bayi;
  5. jasa paramedis dan perawat;
  6. jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan,
    laboratorium kesehatan, dan sanatorium;
  7. jasa psikologi dan psikiater;
  8. jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh
    paranormal.
Huruf b

Jasa pelayanan sosial
meliputi:

  1. jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
  2. jasa pemadam kebakaran;
  3. jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
  4. jasa lembaga rehabilitasi;
  5. jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk
    krematorium; dan
  6. jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial.
Huruf c

Jasa pengiriman surat
dengan perangko
meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan
menggunakan cara lain pengganti perangko tempel.
Huruf d

Jasa keuangan meliputi:

  1. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito
    berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang
    dipersamakan dengan itu;
  2. jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana
    kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi
    maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
  3. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip
    syariah, berupa:

    a) sewa guna usaha
    dengan hak opsi;
    b) anjak piutang;
    c) usaha kartu
    kredit; dan/atau
    d) pembiayaan
    konsumen;
  4. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk
    gadai syariah dan fidusia; dan
  5. jasa penjaminan.
Huruf e

Yang dimaksud dengan “jasa
asuransi”
adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi
jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti
agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.
Huruf f
Jasa keagamaan meliputi:

  1. jasa pelayanan rumah ibadah;
  2. jasa pemberian khotbah atau dakwah;
  3. jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
  4. jasa lainnya di bidang keagamaan.
Huruf g

Jasa pendidikan meliputi:

  1. jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti
    jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan
    kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan
    kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik,
    dan pendidikan profesional; dan
  2. jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
Huruf h

Jasa kesenian dan hiburan
meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan.

Huruf i

Jasa penyiaran yang tidak
bersifat
iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang dilakukan oleh
instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak
dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.

Huruf j

Cukup jelas

Huruf k

Jasa tenaga kerja meliputi:

  1. jasa tenaga kerja;
  2. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia
    tenaga
    kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja
    tersebut; dan
  3. jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
Huruf  l

Jasa perhotelan meliputi:

  1. jasa penyewaan kamar, termasuk
    tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta
    fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang
    menginap; dan
  2. jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan
    di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
Huruf m

Jasa yang disediakan oleh
pemerintah
dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum meliputi jenis-jenis
jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian
Izin Mendirikan Bangunan, pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian
Nomor Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan kartu Tanda Penduduk.

Huruf n

Yang dimaksud dengan “jasa
penyediaan
tempat parkir” adalah jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh
pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir
dengan dipungut bayaran.

Huruf o

Yang dimaksud dengan “jasa
telepon umum
dengan menggunakan uang logam” adalah jasa telepon umum dengan
menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun swasta.

Huruf p

Cukup jelas.

Huruf q

Cukup jelas.

Angka 6

Pasal 5

Ayat (1)

Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh produsen
atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, di samping
dikenai Pajak Pertambahan Nilai, dikenai juga Pajak Penjualan
atas Barang Mewah dengan pertimbangan bahwa:

  1. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang
    berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
  2. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena
    Pajak yang tergolong mewah;
  3. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau
    tradisional; dan
  4. perlu untuk mengamankan penerimaan negara.
Yang dimaksud dengan
“Barang Kena Pajak yang tergolong mewah” adalah:

  1. barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
  2. barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
  3. barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat
    berpenghasilan tinggi; dan/atau
  4. barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status. 
Pengenaan Pajak Penjualan
atas Barang
Mewah atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak
memperhatikan siapa yang mengimpor Barang Kena Pajak tersebut serta
tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus
menerus atau hanya sekali saja.

Selain itu, pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap suatu
penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan
apakah suatu bagian dari Barang Kena Pajak tersebut telah dikenai atau
tidak dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada transaksi
sebelumnya.

Yang termasuk dalam pengertian menghasilkan pada ayat ini adalah
kegiatan:

  1. merakit, yaitu menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu
    Barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi seperti merakit
    mobil, barang elektronik, perabot rumah tangga;
  2. memasak, yaitu mengolah barang dengan cara memanaskan, baik
    dicampur dengan bahan lain atau tidak;
  3. mencampur, yaitu  mempersatukan dua atau lebih
    unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain;
  4. mengemas, yaitu menempatkan suatu barang kedalam suatu
    benda untuk melindunginya dari kerusakan dan/atau untuk meningkatkan
    pemasarannya; dan 
  5. membotolkan, yaitu memasukkan minuman atau benda cair ke
    dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu;
  6. serta kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan
    itu atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.

Ayat (2)

Pengertian umum dari Pajak Masukan hanya berlaku pada Pajak Pertambahan
Nilai dan tidak dikenal pada Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Oleh
karena itu, Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar tidak
dapat dikreditkan dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang.

Dengan demikian, prinsip pemungutannya hanya 1 (satu) kali saja, yaitu
pada waktu:

  1. penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak
    yang tergolong mewah; atau
  2. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Penyerahan pada tingkat
berikutnya tidak lagi dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Angka 7

Pasal 5A

Ayat (1)

Dalam hal Barang Kena
Pajak yang
diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh pembeli, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dari Barang
Kena Pajak yang dikembalikan tersebut mengurangi Pajak Keluaran dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang oleh Pengusaha Kena
Pajak penjual dan mengurangi:

  1. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal
    Pajak
    Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan telah dikreditkan;
  2. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam
    hal
    pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut tidak
    dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan
    (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
  3. biaya atau harta bagi pembeli yang bukan Pengusaha Kena
    Pajak
    dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut telah
    dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam
    harga perolehan harta tersebut.
Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “Jasa
Kena Pajak
yang dibatalkan” adalah pembatalan seluruhnya atau sebagian hak atau
fasilitas atau kemudahan oleh pihak penerima Jasa Kena Pajak.

Dalam hal Jasa Kena Pajak yang diserahkan ternyata dibatalkan, baik
sebagian maupun seluruhnya oleh penerima Jasa Kena Pajak, Pajak
Pertambahan Nilai dari Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut
mengurangi Pajak Keluaran yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak
pemberi Jasa Kena Pajak dan mengurangi:

  1. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa Kena
    Pajak,
    dalam hal Pajak Masukan atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan telah
    dikreditkan;
  2. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa
    Kena
    Pajak, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang
    dibatalkan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan
    sebagai
    biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan
    harta tersebut; atau
  3. biaya atau harta bagi penerima Jasa Kena Pajak yang bukan
    Pengusaha Kena Pajak dalam hal
    Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut
    telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi)
    dalam harga perolehan harta tersebut.
Ayat (3)

Cukup jelas.

Angka 8

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pajak Pertambahan Nilai
adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam
Daerah Pabean. Oleh karena itu,

  1. Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor;
  2. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean
    yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau
  3. Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak yang
    diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan
    ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan
    bahan dan atas petunjuk dari  pemesan di luar Daerah Pabean,
dikenai Pajak Pertambahan
Nilai dengan tarif 0% (nol persen).

Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang
telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak yang berkaitan dengan
kegiatan tersebut dapat dikreditkan.

Ayat (3)

Berdasarkan pertimbangan
perkembangan
ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan,
Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai
menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima
belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal. Perubahan
tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembahasan dan penyusunan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Angka 9

Pasal 8

Ayat (1)

Tarif Pajak Penjualan atas
Barang Mewah
dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif,yaitu tarif paling
rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang
Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).

Ayat (2)

Pajak Penjualan atas
Barang mewah
adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah
Pabean dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 0% (nol
persen). Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas
perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor tersebut
dapat diminta kembali.

Ayat (3)

Dengan mengacu pada
pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1), pengelompokan
barang-barang yang dikenai Pajak Penjualaan atas Barang Mewah terutama
didasarkan pada tingkat kemampuan golongan masyarakat yang
mempergunakan barang tersebut, di samping didasarkan pada nilai gunanya
bagi masyarakat pada umumnya. Sehubungan dengan hal itu, tarif yang
tinggi dikenakan terhadap barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat
yang berpenghasilan tinggi. Dalam hal terhadap barang yang dikonsumsi
oleh masyarakat banyak perlu dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
tarif yang dipergunakan adalah tarif yang rendah. Pengelompokan Barang
Mewah dilakukan setelah berkonsultasi dengan alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Angka 10

Pasal 8A

Ayat (1)

Ayat ini mengatur cara
menghitung Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang. Untuk jelasnya diberikan contoh cara
penghitungan sebagai berikut.
Contoh:

  1. Pengusaha Kena Pajak A menjual Barang Kena Pajak dengan
    Harga Jual Rp25.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai
yang terutang = 10% x Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00

Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak
Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak A.

  1. Pengusaha Kena Pajak B melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak
    dengan memperoleh Penggantian Rp20.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai
yang terutang = 10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00.

Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak
Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak B.

  1. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah
    Pabean dengan Nilai Impor Rp15.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai
yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x
Rp15.000.000,00 = Rp1.500.000,00
  1. Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor Barang Kena Pajak
    dengan Nilai Ekspor Rp10.000.00,00.
Pajak Pertambahan Nilai
yang terutang 0% x Rp10.000.000,00 = Rp0,00

Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp0,00 tersebut merupakan Pajak
Keluaran.

Ayat (2)

Dasar Pengenaan Pajak
berupa nilai lain
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan hanya untuk
menjamin rasa keadilan dalam hal:

  1. Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor
    sukar ditetapkan; dan/atau
  2. penyerahan Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh
    masyarakat banyak, seperti air minum dan listrik.
Angka 11

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pembeli Barang Kena Pajak,
penerima
Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak
yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib
membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan
pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut
merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa
Kena Pajak, pengimpor Barang  Kena Pajak, pihak yang
memanfaatkan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak
yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang
berstatus sebagai Pengusaha Kena pajak.

Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak
dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa
Pajak yang sama. 

Ayat (2a)

Pada dasarnya Pajak
Masukan dikreditkan
dengan Pajak keluaran pada Masa Pajak yang sama. Namun, bagi Pengusaha
Kena Pajak yang belum berproduksi, Pajak Masukan atas perolehan
dan/atau impor barang modal diperkenankan untuk dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), kecuali Pajak Masukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8).

Ayat (2b)

Untuk keperluan
mengkreditkan Pajak
Masukan, Pengusaha Kena Pajak menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimakud dalam Pasal 13 ayat (5).

Selain itu, Pajak Masukan yang akan dikreditkan juga harus memenuhi
persyaratan kebenaran formal dan material sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (9).

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Pajak Masukan yang
dimaksud pada ayat ini adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Dalam suatu Masa Pajak dapat terjadi Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran. Kelebihan Pajak
Masukan tersebut tidak dapat diminta kembali pada Masa Pajak yang
bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

Contoh:

Masa Pajak Mei 2010

Pajak Keluaran  
           
           
           
           
          = Rp2.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan      
           
       = Rp4.500.000,00
           
           
           
           
           
           
           
   ——————(-)
Pajak yang lebih dibayar        
           
           
           
  = Rp2.500.000,00
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni
2010.   

Masa Pajak Juni 2010
Pajak Keluaran          
           
           
           
           
  = Rp3.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
       
       
         =
Rp2.000.000,00
           
           
           
           
           
           
           
  ——————-(-)
Pajak yang kurang dibayar        
           
           
          = Rp1.000.000,00
Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak Mei 2010
yang dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2010    
       = Rp2.500.000,00
           
           
           
           
           
           
           
  ——————-(-)
Pajak yang lebih dibayar Masa Pajak Juni 2010    
         = Rp1.500.000,00
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juli
2010.

Ayat (4a)

Kelebihan Pajak Masukan
dalam suatu
Masa Pajak sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) dikompensasikan pada
Masa Pajak berikutnya. Namun, apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi
pada Masa Pajak akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan tersebut
dapat
diajukan permohonan pengembalian (restitusi).

Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah
Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar).

Ayat (4b)

Cukup jelas.

Ayat (4c)

Cukup jelas.

Ayat (4d)

Cukup jelas.

Ayat (4e)

Untuk mengurangi
penyalahgunaan
pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan pajak, Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.

Ayat (4f)

Dalam hal Direktur Jendeal
Pajak
setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, sanksi kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5)
Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dan perubahannya tidak ditetapkan walaupun pada tahap
sebelumnya sudah diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak. Sebaliknya, sanksi administrasi yang dikenakan adalah
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dan
perubahannya.

Apabila dalam pemeriksaan dimaksud ditemukan adanya indikasi tindak
pidana di bidang perpajakan, ketentuan ini tidak berlaku.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan
“penyerahan yang
terutang pajak” adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Yang dimaksud dengan “penyerahan yang tidak terutang pajak” adalah
penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B.

Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan
yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak hanya
dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang
terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus
dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak.

Contoh :
Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:

  1. penyerahan yang terutang pajak = Rp25.000.000,00
Pajak Keluaran =
Rp2.500.000,00
  1. penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai =
    Rp5.000.000,00
Pajak Keluaran = nihil
  1. penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
    Nilai = Rp5.000.000,00
Pajak Keluaran = nihil
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan:

  1. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan
    penyerahan yang terutang pajak = Rp1.500.000,00
  2. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan
    penyerahan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai  =
    Rp300.000,00
  3. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan
    penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai =
    Rp500.000,00

Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan
Pajak Keluaran sebesar Rp2.500.000,00 hanya sebesar Rp1.500.000,00.

Ayat (6)

Dalam hal Pajak Masukan
untuk
penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka
cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang
diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan, yang dimaksudkan untuk
memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak melakukan 2 (dua) macam penyerahan, yaitu:

  1. penyerahan terutang pajak = Rp35.000.000,00
    Pajak Keluaran = Rp3.500.000,00
  2. penyerahan tidak terutang pajak = Rp15.000.000,00
    Pajak Keluaran = nihil

Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa
Kena Pajak yang berkaitan dengan keseluruhan penyerahan sebesar
Rp2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan yang berkaitan dengan
penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti.
Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp2.500.000,00 tidak
seluruhnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar
Rp3.500.000,00. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung
berdasarkan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Ayat (6a)

Agar dapat dikreditkan,
Pajak Masukan
atas pengeluaran dalam rangka impor dan/atau perolehan barang modal
juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut harus berhubungan
dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mengalami keadaan gagal berproduksi,
maka tidak ada penyerahan yang terutang pajak, sehingga tidak ada Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya,
Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan barang modal yang telah
dikembalikan harus dibayar kembali.

Ayat (6b)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Dalam rangka
menyederhanakan
penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena
Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah
tertentu dapat menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
dengan menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan.

Ayat (7a)

Dalam rangka memberikan
kemudahan dalam
menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor,
Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha
tertentu menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan
dengan
menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan.

Ayat (7b)

Cukup jelas

Ayat (8)

Pajak Masukan pada
dasarnya dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Akan tetapi, untuk pengeluaran yang
dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.

Huruf a

Ketentuan memberikan
kepastian hukum
bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena
Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak
tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan yang diperoleh sebelum tanggal 19
April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.

Huruf b

Yang dimaksud dengan
pengeluaran yang
langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran
untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.
Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan
juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan
adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena
itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan
langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan
tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud
tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan
Nilai.

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d

Ketentuan ini memberikan
kepastian
hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha 
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.

Contoh:
Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena
Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak
tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak
tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang
diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan
berdasarkan ketentuan ini.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Dalam hal tertentu dapat
terjadi
Pengusaha Kena Pajak baru membayar Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang atas perolehan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak setelah diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai
yang dibayar atas ketetapan pajak tersebut bukan merupakan Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan.

Huruf i

Sesuai dengan sistem self
assessment,
Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan seluruh kegiatan usahanya dalam
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Selain itu, kepada
Pengusaha Kena Pajak juga telah diberikan kesempatan untuk melakukan
pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, sehingga
sudah selayaknya jika Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.

Contoh:
Dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dilaporkan :
Pajak Keluaran       = Rp10.000.000,00
Pajak Masukan       = Rp8.000.000,00
Dari hasil pemeriksaan diketahui:
Pajak Keluaran       = Rp15.000.000,00
Pajak Masukan       = Rp11.000.000,00

Dalam hal ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak sebesar Rp
11.000.000,00 tetapi tetap sebesar Rp8.000.000,00, sesuai dengan yang
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.

Dengan demikian, perhitungan hasil pemeriksaan
Pajak Keluaran          
     
           
 = Rp15.000.000,00
Pajak Masukan          
     
           
 = Rp  8.000.000,00
           
       
           
       
           
  ——————–
(-)

   
     
           
       
          Kurang Bayar
menurut
hasil pemeriksaan
     
           
       =
Rp  7.000.000,00
Kurang Bayar menurut
Surat Pemberitahuan        
            = Rp
 2.000.000,00
           
       
           
       
           
 
 ——————–(-)
Masih kurang dibayar        
          = Rp
 5.000.000,00

Huruf j

Cukup jelas
Ayat (9)

Ketentuan ini memungkinkan
Pengusaha
Kena Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran
dalam Masa Pajak yang tidak sama, yang disebabkan antara lain, Faktur
Pajak terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak
yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak
berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak
yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampaui,
pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan.
Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat
dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan
sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi) kepada harga
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan
pemeriksaan.

Contoh:
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang Faktur Pajaknya
tertanggal 7 Juli 2010 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada
Masa Pajak Juli 2010 atau pada Masa Pajak berikutnya paling lambat Masa
Pajak Oktober 2010.

Ayat (10)

Cukup jelas.

Ayat (11)

Cukup jelas.

Ayat (12)

Cukup jelas.

Ayat (13)

Cukup jelas.

Ayat (14)

Cukup jelas.

Angka 12

Pasal 11

Ayat (1)

Pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya
terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum
diterima atau belum sepenuhnya diterima, atau pada saat impor Barang
Kena Pajak. Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan
melalui “electronic commerce” tunduk pada ketentuan
ini.

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Dalam hal orang pribadi
atau badan
memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
di dalam Daerah Pabean atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, terutangnya pajak terjadi pada
saat orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di dalam Daerah
Pabean. Hal itu dihubungkan dengan kenyataan bahwa yang menyerahkan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di luar
Daerah Pabean, sehingga tidak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak. Oleh karena itu, saat pajak terutang tidak lagi dikaitkan dengan
saat penyerahan, tetapi dikaitkan dengan saat pemanfaatan.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Ayat (2)

Dalam hal pembayaran
diterima sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf a, sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, sebelum dimulainya pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, atau sebelum dimulainya pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf e, saat terutangnya pajak adalah saat pembayaran.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Angka 13

Pasal 12

Ayat (1)

Pengusaha Kena Pajak orang
pribadi
terutang pajak di tempat tinggal dan/ atau tempat kegiatan usaha
sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak badan terutang pajak di tempat
kedudukan dan tempat kegiatan usaha.

Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan
usaha di luar tempat tinggal atau tempat kedudukannya, setiap tempat
tersebut merupakan tempat terutangnya pajak, dan Pengusaha Kena Pajak
dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak.

Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat pajak
terutang yang berada di wilayah kerja 1 (satu) Kantor Direktorat
Jenderal Pajak, untuk seluruh tempat terutang tersebut, Pengusaha Kena
Pajak memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak
terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya,
kecuali apabila Pengusaha Kena Pajak tersebut menghendaki lebih dari 1
(satu) tempat pajak terutang, Pengusaha Kena Pajak wajib memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak.

Dalam hal-hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat
lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan
usaha sebagai tempat pajak terutang.

Contoh 1:
Orang pribadi A yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai
usaha di
Cibinong. Apabila di tempat tinggal orang pribadi A tidak ada
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang
pribadi A hanya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai
Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong sebab
tempat terutangnya pajak bagi orang pribadi A adalah di
Cibinong.
Sebaliknya, apabila penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau 
Jasa
Kena Pajak dilakukan oleh orang pribadi A hanya di tempat
tinggalnya saja, maka orang pribadi A hanya wajib mendaftarkan
diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor. Namun apabila baik di
tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya orang pribadi A
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang
pribadi A wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Bogor dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong, karena tempat
terutangnya pajak berada di Bogor dan Cibinong.
Berbeda dengan orang pribadi, Pengusaha Kena Pajak badan wajib
mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan maupun di tempat kegiatan
usaha karena bagi Pengusaha Kena Pajak badan di kedua
tempat tersebut dianggap melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak.

Contoh 2:
PT A mempunyai 3 tempat melakukan kegiatan usaha, yaitu di kota
Bengkulu, Bintuhan dan Manna yang ketiganya berada dibawah pelayanan 1
(satu) Kantor Pelayanan Pajak, yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Bengkulu. Ketiga tempat kegiatan usaha tersebut melakukan
penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dan/atau administrasi
penjualan dan administrasi keuangan, sehingga PT A terutang pajak di
ketiga tempat atau kota itu. Dalam keadaan demikian PT A wajib memilih
salah satu tempat kegiatan usaha, untuk melaporkan usahanya
guna
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya tempat kegiatan usaha
di Bengkulu. PT A yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini
bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha yang
dilakukan oleh ketiga tempat kegiatan usaha perusahaan tersebut.

Dalam hal PT A menghendaki tempat kegiatan usaha di Bengkulu dan
Bintuhan ditetapkan sebagai tempat pajak terutang untuk seluruh
kegiatan usahanya, PT A wajib memberitahukan kepada Kepala
Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu.

Ayat (2)

Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari 1 (satu)
tempat kegiatan usaha, Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan
kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih 1 (satu) tempat
atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Orang pribadi atau badan baik sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun bukan
Pengusaha Kena Pajak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan/atau memanfaatkan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean tetap
terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha orang
pribadi atau di tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha badan
tersebut.

Angka 14
Pasal 13
Ayat (1)
Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak
dan/atau menyerahkan Jasa Kena Pajak itu wajib memungut Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai
bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus
atau berbeda dengan faktur penjualan. Faktur Pajak dapat berupa faktur
penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur
Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.

Berdasarkan ketentuan ini, atas setiap penyerahan Barang Kena
Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D, wajib
diterbitkan Faktur Pajak.

Ayat (1a)

Pada prinsipnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau
pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum
penyerahan. Dalam hal tertentu dimungkinkan saat pembuatan Faktur Pajak
tidak sama dengan saat-saat tersebut, misalnya dalam hal terjadi
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada bendahara
pemerintah. Oleh karena itu, Menteri Keuangan berwenang untuk mengatur
saat lain sebagai saat pembuatan Faktur Pajak.

Ayat (2)

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk
meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak
diperkenankan untuk membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi semua
penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
terjadi selama 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli yang sama atau
penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak gabungan.

Ayat (2a)

Untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak
diperkenankan untuk membuat Faktur Pajak gabungan paling lama pada
akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa
Kena Pajak meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran
baik sebagian maupun seluruhnya.

Contoh 1:
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
kepada pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31
Juli 2010, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli 2010 sama sekali belum
ada pembayaran atas penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak
A
diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan meliputi seluruh
penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli, yaitu paling lama tanggal 31
Juli 2010

Contoh 2:
Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada
pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29 dan 30
September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran oleh
Pengusaha B atas penyerahan tanggal 2 September 2010.  Dalam
hal  Pengusaha Kena Pajak  A menerbitkan Faktur Pajak
gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010
yang meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada bulan September.

Contoh 3:
Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada
pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29,
dan 30
September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran atas
penyerahan tanggal 2 September 2010 dan pembayaran uang muka untuk
penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2010 oleh Pengusaha
B. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan,
Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang
meliputi seluruh penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada
bulan September.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai
sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi
secara lengkap, jelas, dan benar serta ditandatangani oleh pihak yang
ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun,
keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi
apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas
Barang Mewah.Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan
dalam ayat ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di
dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9
ayat (8) huruf f.

Ayat (6)

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan
dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Ketentuan ini diperluka, antara lain, karena:

  1. faktur penjualan yang
    digunakan oleh Pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas seperti,
    kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara;
  2. untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak,
    sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang
    menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar
    Daerah Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari
    luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan
    sebagai
    Faktur Pajak; dan
  3. Terdapat dokumen tertentu yang digunakan dalam hal
    impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Faktur Pajak yang dibetulkan adalah, antara lain, Faktur Pajak yang
salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan. Termasuk pengertian
salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan adalah, antara lain,
adanya penyesuaian Harga Jual akibat berkurangnya kuantitas atau
kualitas Barang Kena Pajak yang wajar terjadi pada saat pengiriman.

Ayat (9)

Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara lengkap, jelas
dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan
dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi
keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor barang tidak berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak,
impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.

Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu
yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi
ketentuan formal dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila
keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen
tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak
sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak
atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur
Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material.

Angka 15

Pasal 15A

Dalam rangka memberikan
kelonggaran
waktu kepada Pengusaha Kena Pajak untuk menyetor kekurangan pembayaran
pajak dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai, Pasal ini mengatur secara khusus mengenai batas akhir pembayaran
dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang
berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.

Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran pajak terutang berdasarkan
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dan/atau keterlambatan
penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal ini, Pengusaha Kena Pajak
tetap dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983  tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dan perubahannya.  

Angka 16

Pasal 16B

Ayat (1)

Salah satu prinsip yang
harus dipegang teguh di dalam Undang-undang Perpajakan adalah
diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib
Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada
hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan
perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang
perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di
atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari
maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.

Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk
memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama
untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi
dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan
meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta
memperlancar pembangunan nasional.

Kemudahan perpajakan yang diatur dalam pasal ini diberikan terbatas
untuk:

  1. mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di
    Tempat Penimbunan Berikat, atau untuk mengembangkan wilayah dalam
    Daerah Pabean yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut;
  2. menampung kemungkinan perjanjian dengan negara
    lain dalam bidang perdagangan dan investasi, konvensi internasional
    yang telah diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya;
  3. mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui
    pengadaan vaksin yang diperlukan dalam rangka Program Imunisasi
    Nasional;
  4. menjamin tersedianya peralatan Tentara Nasional
    Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk
    melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman eksternal maupun
    internal;
  5. menjamin tersedianya data batas dan foto udara wilayah
    Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI)
    untuk mendukung pertahanan nasional;
  6. meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan
    membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci dan buku pelajaran
    agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat;
  7. mendorong pembangunan tempat ibadah;
  8. menjamin tersedianya perumahan yang harganya terjangkau
    oleh masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah sangat
    sederhana, dan rumah susun sederhana;
  9. mendorong pengembangan armada nasional di bidang angkutan
    darat, air, dan udara;
  10. mendorong pembangunan nasional dengan membantu
    tersedianya barang yang bersifat strategis, seperti bahan baku
    kerajinan perak;
  11. menjamin terlaksananya Proyek Pemerintah yang dibiayai
    dengan hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri;
  12. mengakomodasi kelaziman internasional dalam importasi
    Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk.
  13. membantu tersedianya Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
    Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan bencana alam yang
    ditetapkan sebagai bencana alam nasional;
  14. menjamin tersedianya air bersih dan listrik yang sangat
    dibutuhkan oleh masyarakat; dan/atau
  15. menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong
    kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang
    tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, yang
    perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan
    dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.

Ayat (2)

Adanya perlakuan khusus
berupa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang, tetapi tidak dipungut,
diartikan bahwa Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat perlakuan khusus
dimaksud tetap dapat dikreditkan. Dengan demikian, Pajak Pertambahan
Nilai tetap terutang, tetapi tidak dipungut.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak A memproduksi Barang Kena Pajak yang
mendapat fasilitas dari negara, yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut tidak dipungut
selamanya (tidak sekadar ditunda).
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena
Pajak A menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena
Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai
komponen biaya lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak
tersebut, Pengusaha Kena Pajak A membayar Pajak Pertambahan
Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Jika Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena
Pajak A kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, Pajak
Masukan tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran walaupun Pajak
Keluaran tersebut nihil karena menikmati fasilitas Pajak Pertambahan
Nilai tidak dipungut dari negara berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

Ayat (3)

Berbeda dengan ketentuan
pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran,
sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut
tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang
mendapat fasilitas dari Negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak
tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena
Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena
Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai
komponen biaya lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak
tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan
Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena
Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran
berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Pajak Masukan tersebut
menjadi tidak dapat dikreditkan.

Angka 17

Pasal 16 D

Penyerahan Barang Kena
Pajak, antara lain berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan atau
Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai pajak.
Namun, Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan
Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yaitu kendaran bermotor berupa sedan dan
station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan
huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat
dikreditkan.

Angka 18

Pasal 16E

Ayat (1)

Dalam rangka menarik
orang pribadi pemegang paspor luar negeri untuk berkunjung ke
Indonesia, kepada orang pribadi tersebut diberikan insentif
perpajakan. Insentif tersebut berupa pengembalian Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas
pembelian Barang Kena Pajak di Indonesia yang kemudian dibawa oleh
orang pribadi tersebut ke luar Daerah Pabean.

Ayat (2)

Barang Kena Pajak yang
dibeli dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi pemegang
paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dianggap akan dikonsumsi di
luar Daerah Pabean. Oleh karena itu, Faktur Pajak yang dapat digunakan
sebagai dasar untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, dipersyaratkan hanya untuk Faktur Pajak
yang diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang
pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia.
Bagi orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai
Nomor Pokok Wajib Pajak, Faktur Pajak yang dapat dipergunakan untuk
meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah harus mencantumkan identitas berupa nama, nomor paspor
dan alamat lengkap orang pribadi tersebut di negara yang menerbitkan
paspor.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 16F

Sesuai dengan prinsip
beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen
barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila
pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab
renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa
pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada
penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat
menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau
pemberi jasa.

PASAL II

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5069
error: Content is protected