PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK
NOMOR PER – 57/PJ/2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009
TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARAÂ PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN
PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
bahwa agar pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi yang merupakan bukan pegawai mendekati jumlah
pajak yang akan terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang perubahan atas
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009
tentang Pedoman
Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;Â
Mengingat:
- Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
- Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
- Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008Â tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan
dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
- Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009
tentang Pedoman
Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANGÂ PERUBAHAN ATAS
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009
TENTANG PEDOMAN TEKNIS
TATA CARAÂ PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN Â PELAPORAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN
DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009
tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan
Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi diubah
sebagai berikut :
1. |
Ketentuan
Pasal 9 ayat (1) diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 9
(1) |
Dasar
pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
- Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi :
- pegawai tetap;
- penerima pensiun berkala;
- pegawai tidak tetap yang penghasilannya di
bayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima
dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 1.320.000,00 (satu juta
tiga ratus dua puluh ribu rupiah);
- bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan.
- jumlah penghasilan yang melebihi Rp 150.000,00
(seratus lima puluh ribu rupiah) sehari, yang berlaku bagi pegawai
tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau
upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang
diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum
melebihi Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu
rupiah);
- 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan
bruto, yang berlaku bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat
berkesinambungan;
- Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi
penerima penghasilan selain penerima penghasilan
sebagaimana di maksud pada huruf a, b dan huruf c.
|
(2) |
Dasar
pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto. |
|
2. |
Ketentuan
Pasal 10 ayat (2) dan ayat (5) diubah sehingga Pasal 10 berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 10
(1) |
Jumlah
penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Penerima Penghasilan
yang Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah seluruh jumlah
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau
diperoleh dalam suatu periode atau pada saat dibayarkan. |
(2) |
Penghasilan
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a adalah
sebagai berikut :
- bagi pegawai tetap dan penerima pensiun
berkala, sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP);
- bagi pegawai tidak tetap, sebesar penghasilan
bruto dikurangi PTKP;
- bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf c, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah
penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
|
(3) |
Besarnya
penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah
jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:
- biaya jabatan, sebesar 5% (lima persen) dari
penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah) sebulan atau Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun;
- iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar
oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau
jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
|
(4) |
Besarnya
penghasilan netto bagi penerima pensiun berkala yang dipotong PPh Pasal
21 adalah seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya
pensiun, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto,
setinggi-tingginya Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan atau
Rp 2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun. |
(5) |
Dalam
hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c memberikan
jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26:
- mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya
maka besarnya jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian
gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila
dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah
dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto
tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;
- melakukan penyerahan material atau barang maka
besarnya jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan
material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk
pemberian jasa dan material atau barang
|
(6) |
Dalam
hal jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau
klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa
dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik
sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau
klinik. |
|
3. |
Ketentuan
Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 16
(1) |
Tarif
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
diterapkan atas jumlah kumulatif dalam satu tahun kalender dari:
- Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2) huruf c, bagi bukan pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang bersifat
berkesinambungan yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1);Â
- 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan
bruto untuk setiap pembayaran imbalan bagi bukan pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang bersifat berkesinambungan yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(1);Â
- jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau
imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh
anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap
sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama;
- jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi ,
tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak
teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai;atau
- jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana
pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai
pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.
|
(2) |
Tarif
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
diterapkan atas :
- 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan
bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada bukan pegawai yang tidak
bersifat berkesinambungan;
- jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali
pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh
peserta kegiatan.
|
|
4. |
Bagian
Pertama Angka Romawi IV Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-31/PJ/2009
tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan
Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, diubah
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. |
5. |
Bagian
Kedua Angka Romawi V Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009
tentang
Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan
Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, diubah sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. |
Pasal II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 2009.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Oktober 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 060044911