Follow Us :

TAX REGULATIONS

Peraturan Dirjen Pajak
No. PER - 31/PJ/2009

PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI

 

PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK
NOMOR PER – 31/PJ/2009

TENTANG

PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :
bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 24 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 252/PMK.03/2008 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan
Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan
Orang Pribadi, dan ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri
Keuangan
Nomor 254/PMK.03/2008
tentang Penetapan Bagian Penghasilan
Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian Dan Mingguan Serta
Pegawai Tidak Tetap Lainnya Yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak
Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang
Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan
Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;

Mengingat:

  1. Undang-Undang Nomor 6
    Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah
    beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
    16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
    Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 7
    Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
    Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
    Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
    terakhir dengan Undang-Undang
    Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
    2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  3. Peraturan Menteri
    Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007
    tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan
    Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara
    Pembayaran, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara
    Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak;
  4. Peraturan Menteri
    Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008
    tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang
    Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan;
  5. Peraturan Menteri
    Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang
    Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan
    dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
  6. Peraturan Menteri
    Keuangan Nomor 254/PMK.03/2008
    tentang Penetapan
    Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian Dan
    Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya Yang Tidak Dikenakan
    Pemotongan Pajak Penghasilan;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA
CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN
PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN
PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:

  1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7
    Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
    beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
    36 Tahun 2008.
  2. Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
    kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak
    dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas
    penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
    lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan
    atau jabatan, jasa,dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi.
    Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
    Undang-Undang Pajak Penghasilan.
  3. Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
    kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak
    luar negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 26, adalah pajak atas
    penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
    lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan
    atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi
    Subjek Pajak luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
    Undang-Undang Pajak Penghasilan.
  4. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah Wajib
    Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, termasuk bentuk usaha
    tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas
    Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
    Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-Undang
    Pajak Penghasilan.
  5. Badan adalah badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
    3 Undang-Undang
    Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
    Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
    16 Tahun 2009.
  6. Penyelenggara Kegiatan adalah Wajib Pajak orang pribadi
    atau Wajib Pajak badan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu yang
    melakukan pembayaran imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun kepada
    orang pribadi sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan tersebut.
  7. Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah
    orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri yang
    menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk
    apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal
    Pajak ini, dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai
    imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan
    baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk
    penerima pensiun.
  8. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 26 adalah
    orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak luar negeri yang
    menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk
    apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal
    Pajak ini, dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
    sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang
    dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai,
    termasuk penerima pensiun.
  9. Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi
    kerja, baik sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak tetap/tenaga kerja
    lepas berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara
    tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan
    dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang
    dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau
    ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja, termasuk orang pribadi
    yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik
    negara atau badan usaha milik daerah.
  10. Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh
    penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota
    dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus
    menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta
    pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu
    tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time)
    dalam pekerjaan tersebut.
  11. Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang
    hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja,
    berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang
    dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh
    pemberi kerja.
  12. Penerima Penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi
    selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas yang
    memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari
    Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas
    pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan
    perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
  13. Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam
    suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar,
    lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan
    lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan
    keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.
  14. Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya
    yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di
    masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima
    tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
  15. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Teratur adalah
    penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji atau upah, segala macam
    tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara
    periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja,
    termasuk uang lembur.
  16. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Tidak Teratur
    adalah penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang bersifat
    teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya,
    antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi,
    tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun.
  17. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau
    diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian.
  18. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau
    diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan.
  19. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau
    diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit
    hasil pekerjaan yang dihasilkan.
  20. Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau
    diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan
    penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.
  21. Imbalan kepada bukan pegawai adalah penghasilan dengan nama
    dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan kepada bukan
    pegawai sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang
    dilakukan, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan penghasilan
    sejenis lainnya.
  22. Imbalan kepada bukan pegawai yang bersifat berkesinambungan
    adalah imbalan kepada bukan pegawai yang dibayar atau terutang lebih
    dari satu kali dalam satu tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan,
    jasa, atau kegiatan.
  23. Imbalan kepada peserta kegiatan adalah penghasilan dengan
    nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan kepada
    peserta kegiatan tertentu, antara lain berupa uang saku, uang
    representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan, dan
    penghasilan sejenis lainnya.
  24. Masa Pajak terakhir adalah masa Desember atau masa pajak
    tertentu di mana pegawai tetap berhenti bekerja.
BAB II

PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26

Pasal 2

(1)
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi :

  1. pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan
    badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang
    membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
    nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan
    pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
  2. bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk
    bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi
    TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah,
    lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia
    di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
    pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
    pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
  3. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial
    tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan
    tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
  4. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
    pekerjaan bebas serta badan yang membayar :

    1. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan
      sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang
      pribadai dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga
      ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas
      namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
    2. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan
      sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi
      dengan status Subjek Pajak luar negeri;
    3. honorarium atau imbalan lain kepada peserta
      pendidikan, pelatihan, dan magang;
  5. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah,
    organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang
    pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang
    membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun
    kepada Wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu
    kegiatan.
(2) Tidak
termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan
pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah:

  1. kantor perwakilan Negara asing;
  2. organisasi-organisasi internasional sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak
    Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
  3. pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan
    kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan
    orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan
    bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
(3) Dalam
hal organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, organisasi internasional dimaksud
merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan pemotongan pajak.
BAB III

PENERIMA PENGHASILAN YANG
DIPOTONG PPh PASAL 21
DAN ATAU PPh PASAL 26

Pasal 3

Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
adalah orang pribadi yang merupakan :

  1. pegawai;
  2. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun,
    tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
  3. bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan
    sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi
    :

    1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang
      terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris,
      penilai, dan aktuaris;
    2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang
      film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
      peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan
      seniman lainnya;
    3. olahragawan
    4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan
      moderator;
    5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
    6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik
      komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika,
      fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu
      kepanitiaan;
    7. agen iklan;
    8. pengawas atau pengelola proyek;
    9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang
      menjadi perantara;
    10. petugas penjaja barang dagangan;
    11. petugas dinas luar asuransi;
    12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct
      selling dan kegiatan sejenis lainnya;
  4. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan
    sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain
    meliputi :

    1. peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain
      perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan
      perlombaan lainnya;
    2. peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau
      kunjungan kerja;
    3. peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai
      penyelenggara kegiatan tertentu;
    4. peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
    5. peserta kegiatan lainnya.
Pasal 4

Tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
adalah:

  1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat
    lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada
    mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan
    syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima
    atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya
    tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal
    balik;
  2. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak
    Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat
    bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan
    atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
BAB IV

PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26

Pasal 5

(1) Penghasilan
yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah:

  1. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai
    tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak
    teratur;
  2. penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima
    pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
  3. penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan
    kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara
    sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari
    tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis;
  4. penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja
    lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan
    atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
  5. imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa
    honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam
    bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
    kegiatan yang dilakukan;
  6. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa
    uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau
    penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis
    dengan nama apapun.
(2) Penghasilan
yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan
oleh:

  1. bukan Wajib pajak;
  2. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang
    bersifat final; atau
  3. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan
    berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
Pasal 6

(1) Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang
pribadi Subjek Pajak dalam negeri merupakan penghasilan yang dipotong
PPh Pasal 21.
(2) Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh orang
pribadi Subjek Pajak luar negeri merupakan penghasilan yang dipotong
PPh Pasal 26.
Pasal 7

(1) Penghitungan
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa penerimaan
dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) didasarkan pada harga pasar atas barang yang
diberikan atau nilai wajar atas pemberian kenikmatan yang diberikan.
(2) Dalam
hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) diterima
atau diperoleh dalam mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran
penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya.
Pasal 8

(1) Tidak
termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:

  1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari
    perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi
    kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
  2. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan
    dalam bentuk apapun diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali
    penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
  3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun
    yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan
    hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara
    tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja
    yang dibayar oleh pemberi kerja;
  4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak
    dari
    badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
    Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk
    agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang
    berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
    Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
    kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
  5. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
    huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Pajak
Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang
ditanggung oleh Pemerintah, merupakan penerimaan dalam bentuk
kenikmatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
BAB V

DASAR PENGENAAN DAN PEMOTONGAN
PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26

Pasal 9

(1) Dasar
pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:

  1. Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi :
    1. pegawai tetap;
    2. penerima pensiun berkala;
    3. pegawai tidak tetap yang penghasilannya di bayar
      secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima selama 1
      (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga
      ratus dua puluh ribu rupiah);
    4. bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
      huruf
      c selain tenaga ahli, yang menerima imbalan yang bersifat
      berkesinambungan.
  2. jumlah penghasilan yang melebihi Rp 150.000,00
    (seratus
    lima puluh ribu) sehari, yang berlaku bagi pegawai tidak tetap yang
    menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan,
    sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu)
    bulan
    kalender belum melebihi Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus
    dua puluh ribu rupiah);
  3. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan
    bruto, yang
    berlaku bagi tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 3 huruf c angka 1;
  4. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima
    penghasilan selain penerima penghasilan sebagaimana di maksud
    pada huruf a, b dan huruf c.
(2) Dasar
pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto.
Pasal 10

(1) Jumlah
penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Penerima Penghasilan
yang Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah seluruh jumlah
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau
diperoleh dalam suatu periode atau pada saat dibayarkan.
(2) Penghasilan
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a adalah
sebagai berikut :

  1. Bagi pegawai tetap dan penerima pensiun berkala,
    sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP);
  2. Bagi pegawai tidak tetap, sebesar penghasilan bruto
    dikurangi PTKP;
  3. Bagi bukan pegawai,  sebesar penghasilan
    bruto dikurangi PTKP yang dihitung secara bulanan.
(3) Besarnya
penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah
jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:

  1. Biaya jabatan, sebesar 5% (lima persen) dari
    penghasilan
    bruto, setinggi-tingginya Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
    sebulan atau Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun;
  2. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh
    pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
    Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau
    jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang
    pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Besarnya
penghasilan netto bagi penerima pensiun berkala yang dipotong PPh Pasal
21 adalah seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya
pensiun,  sebesar
5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp
200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp 2.400.000,00 (dua
juta empat ratus ribu rupiah) setahun. 
(5) Dalam
hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c selain
tenaga ahli memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26:

  1. mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka
    besarnya
    jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
    sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau
    upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam
    kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari
    pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto
    tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;
  2. melakukan penyerahan material atau barang maka
    besarnya
    jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya atas
    pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak
    dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka
    besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan
    material atau barang
(6) Dalam
hal jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau
klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa
dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik
sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau
klinik.
Pasal 11

(1) besarnya
PTKP per tahun adalah sebagai berikut :

  1. Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat
    puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
  2. Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu
    rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
  3. Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu
    rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga
    semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi
    tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap
    keluarga. 
(2) PTKP
per
bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf c adalah PTKP
per tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi 12 (dua belas),
sebesar :

  1. Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu
    rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
  2. Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) tambahan
    untuk Wajib Pajak yang kawin;
  3. Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu
    rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
    keluarga semenda
    dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
    sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap
    keluarga. 
(3) Besarnya
PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:

  1. Bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya
    sendiri;
  2. Bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk
    dirinya sendiri ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan
    sepenuhnya.
(4) Dalam
hal karyawati kawin dapat menunjukan keterangan tertulis dari
pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan
suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP
adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan
PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
(5) Besarnya
PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender.
(6) Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), besarnya PTKP untuk
pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun
kalender ditentukan berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian
tahun kalender yang bersangkutan.
Pasal 12

(1) Atas
penghasilan bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang tidak
di bayar secara bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan
kalender belum melebihi Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh
ribu rupiah), berlaku ketentuan sebagai berikut:

  1. Tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal
    penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari belum melebihi Rp
    150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah);
  2. Dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal
    penghasilan
    sehari atau rata-rata penghasilan sehari melebihi Rp 150.000,00
    (seratus lima puluh ribu rupiah), dan jumlah sebesar Rp
    150.000,00
    (seratus lima puluh ribu rupiah) tersebut merupakan jumlah yang dapat
    dikurangkan dari penghasilan bruto.
(2) Rata-rata
penghasilan sehari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rata-rata
upah mingguan, upah satuan atau upah borongan untuk setiap hari kerja
yang digunakan.
(3) Dalam
hal pegawai tidak tetap telah memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1
(satu) bulan kalender melebihi Rp 1.320.000,00 (satu
juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) , maka jumlah yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar PTKP yang sebenarnya.
(4) PTKP
yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sebesar PTKP
untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.
(5) PTKP
sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah
sebesar PTKP per tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari.
(6) Dalam
hal berdasarkan ketentuan di bidang ketenagakerjaan diatur kewajiban
untuk mengikutsertakan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas
dalam program jaminan hari tua atau tunjangan hari tua, maka iuran
jaminan hari tua atau iuran tunjangan hari tua yang dibayar sendiri
oleh pegawai tidak tetap kepada badan penyelenggara jaminan sosial
tenaga kerja atau badan penyelenggara tunjangan hari tua, dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto.
Pasal 13

(1) Penerima
penghasilan bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf a angka 4 dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sepanjang yang
bersangkutan telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya
memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26  serta tidak memperoleh penghasilan
lainnya.
(2) Untuk
dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), penerima penghasilan bukan pegawai harus menyerahkan fotokopi
kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan bagi wanita kawin harus menyerahkan
fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi surat nikah
dan kartu keluarga.
BAB VI

TARIF PEMOTONGAN PAJAK DAN PENERAPANNYA

Pasal 14

(1) Tarif
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari :

  1. Pegawai tetap;
  2. Penerima pensiun berkala yang dibayarkan secara
    bulanan;
  3. Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang
    dibayarkan secara bulanan.
(2) Untuk
perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap masa pajak, kecuali
masa pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang
akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur
    adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12
    (dua belas);
  2. Dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat
    tidak teratur, maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1
    (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah
    penghasilan yang bersifat tidak teratur.
(3) Jumlah
PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap masa pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah:

  1. Atas penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar
    Pajak Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud
    pada ayat (2) huruf a dibagi 12 (dua belas):
  2. Atas penghasilan yang bersifat tidak teratur adalah
    sebesar selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang, atas jumlah
    penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan Pajak
    Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud
    pada ayat (2) huruf a.
(4) Dalam
hal pegawai tetap mempunyai kewajiban pajak subjektif terhitung sejak
awal tahun kalender dan mulai bekerja setelah bulan Januari, termasuk
pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi kerja lain, banyaknya
bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
atau faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah jumlah
bulan tersisa dalam tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai
bekerja.
(5) Besarnya
PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk masa pajak terakhir adalah
selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan
kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak dengan
PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam tahun
pajak yang bersangkutan.
(6) Dalam
hal pegawai tetap kewajiban pajak subjektifnya hanya meliputi bagian
tahun pajak maka perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bagian
tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak yang
disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam bagian tahun pajak
yang bersangkutan.
(7) Dalam
hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember dan jumlah
PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan
lebih besar dari PPh pasal 21 yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak
maka kelebihan PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dikembalikan
kepada pegawai tetap yang bersangkutan bersamaan dengan pemberian bukti
pemotongan PPh Pasal 21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah
berhenti bekerja.
(8) Jumlah
Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal 17 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh
Pasal 15

(1) Atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau
tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah
borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan
secara bulanan, tarif lapisan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas:

  1. jumlah penghasilan bruto sehari yang melebihi Rp
    150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah); atau
  2. jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang
    sebenarnya dalam hal
    jumlah penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender telah
    melebihi Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah)
(2) Dalam
hal jumlah pengasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah
melebihi
Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah), PPh Pasal 21 dihitung dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan.
Pasal 16

(1) Tarif
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
diterapkan atas jumlah kumulatif dari:

  1. Penghasilan Kena Pajak sebesar jumlah penghasilan
    bruto
    dikurangi PTKP, yang diterima atau diperoleh bukan pegawai sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 yang memenuhi ketentuan
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), yang dihitung setiap
    bulan;
  2. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto
    yang
    diterima atau diperoleh tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c angka 1;
  3. jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran
    imbalan
    kepada bukan pegawai yang bersifat berkesinambungan yang tidak memenuhi
    ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
  4. jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau
    imbalan
    yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan
    komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai
    tetap pada perusahaan yang sama;
  5. jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi ,
    tantiem,
    gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang
    diterima atau diperoleh mantan pegawai;atau
  6. jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana
    pengsiun
    oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari
    dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
(2) Tarif
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
diterapkan atas :

  1. jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran
    imbalan kepada bukan pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan;
  2. jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran
    yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta
    kegiatan.
Pasal 17
Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pejabat negara, pegawai negeri sipil,
anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia, serta para pensiunannya atas penghasilan yang
menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, diatur berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan khusus mengenai hal dimaksud.

Pasal 18
Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pegawai atas uang pesangon, uang manfaat
pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan
secara sekaligus, diatur berdasarkan ketentuan yang ditetapkan khusus
mengenai hal dimaksud.  

Pasal 19

(1) Tarif
PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final
diterapkan atas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sebagai
imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang
pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri dengan memperhatikan
ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku antara
Republik Indonesia dengan negara domisili Subjek Pajak luar negeri
tersebut.
(2) PPh
Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dalam
hal orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar negeri tersebut berubah
status menjadi Wajib Pajak dalam negeri.
BAB VII

TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 21 BAGI PENERIMA PENGHASILAN
YANG TIDAK MEMPUNYAI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK

Pasal 20

(1) Bagi
Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif
lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Jumlah
PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21
yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak.
(3) Pemotongan
PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk
pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
(4) Dalam
hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima
penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih
tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mendaftarkan diri untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, dalam tahun kalender yang
bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk masa
pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan
tarif sebesar 20%  (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut
tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk
bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
BAB VIII

SAAT TERUTANG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26

Pasal 21

(1) PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Penerima Penghasilan pada
saat dilakukan pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang
bersangkutan.
(2) PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap masa pajak.
(3) Saat
terutang untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan
terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
BAB IX

HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26
SERTA PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK

Pasal 22

(1) Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan Penerima Penghasilan yang
Dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(2) Pegawai,
Penerima pensiun berkala, serta bukan pegawai sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat pernyataan
yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau
pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar
penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 pada saat mulai bekerja atau mulai pensiun.
(3) Dalam
hal terjadi perubahan tanggungan keluarga bagi pegawai, penerima
pensiun berkala dan bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat pernyataan baru dan
menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
paling lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya.
(4) Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib menghitung, memotong,
menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang
terutang untuk setiap bulan kalender.
(5) Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib membuat catatan atau kertas
kerja perhitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk
masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap masa pajak
dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(6) Ketentuan
mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 untuk setiap bulan kalender sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) tetap berlaku, dalam hal jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang
bersangkutan nihil.
(7) Dalam
hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas PPh Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang, oleh Pemotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26, kelebihan penyetoran tersebut dapat
diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang
pada bulan berikutnya melalui Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26.
Pasal 23

(1) Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan
PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai
tetap atau penerima pensiun berkala paling lama 1 (satu) bulan setelah
tahun kalender berakhir. 
(2) Dalam
hal
pegawai tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember, bukti pemotongan
PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan paling
lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan berhenti bekerja.
(3) Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti
pemotongan
PPh Pasal 21 atas pemotongan PPh Pasal 21 selain pegawai tetap
dan
penerima pensiun berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta
bukti pemotongan PPh Pasal 26 setiap kali melakukan pemotongan PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26.
(4) Dalam
hal dalam 1 (satu) bulan kalender, kepada satu penerima penghasilan
dilakukan lebih dari 1 (satu) kali pembayaran penghasilan, bukti
pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat dibuat sekali untuk 1 (satu)
bulan
kalender.
(5) Bentuk
formulir pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal
26 ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tersendiri.
Pasal 24

(1) PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap Masa Pajak
wajib disetor ke Kantor
Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama 10
(sepuluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib melaporkan pemotongan dan
penyetoran PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap Masa Pajak
yang dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 ke Kantor Pelayanan Pajak
tempat pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terdaftar, paling
lama 20 (dua
puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. 
(3) Dalam
hal tanggal jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan batas waktu pelaporan PPh Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertepatan
dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Pasal 25

(1) Jumlah
PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima
penghasilan yang dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang
bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
(2) Jumlah
pemotongan PPh Pasal 21 atas selisih penerapan tarif sebesar 20% (dua
puluh persen) lebih tinggi bagi pegawai tetap atau penerima pensiun
berkala sebelum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak yang telah
diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang untuk bulan-bulan
selanjutnya pada tahun kalender berikutnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (4) tidak termasuk kredit pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1). 
(3) Dalam
hal Wajib Pajak yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang
lebih
tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) mendaftarkan diri
untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak maka PPh Pasal 21 yang telah
dipotong tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk tahun pajak yang
bersangkutan.
(4) Dalam
hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang menyatakan jumlah lebih
bayar maka penyampaiannya harus dilakukan dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
(5) Dalam
hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang menyatakan
jumlah lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan
setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya tahun pajak yang
bersangkutan dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, tidak
dianggap sebagai Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Pasal 26

Petunjuk Umum dan contoh penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 27

Dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ/2000
tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan
Orang Pribadi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2006,
dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

Pasal 28

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 25 Mei 2009
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

DARMIN NASUTION
NIP 130605098

error: Content is protected