Jakarta, (Analisa)
. Pengampunan pajak (tax amnesty) dinilai hanya akan merugikan dan menimbulkan moral hazard apabila dilakukan pada saat yang tidak tepat. Kesiapan menjadi sangat berperan penting dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.Demikian pandangan Pengamat Perpajakan dari Center for Indonesia Texation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, di Jakarta, akhir pekan ini. Menurut dia, manfaat kebijakan tax amnesty diharapkan ada tambahan penerimaan pajak, lalu repatriasi dana yang diparkir di luar negeri akan kembali ke Indonesia, dan juga kepatuhan juga akan meningkat.
“Jadi sebenarnya hal positif ke depannya. Tapi persoalannya itu bisa terjadi apabila otoritas atau Ditjen Pajak kuat, punya sistem yang bagus, punya data, dan lainnya. Kalau tidak punya data di luar negeri, akan sulit mengukur efektifitasnya,” kata Prastowo.
Selain itu, lanjutnya, dalam pelaksanaan tax amnesty ini harus disiapkan skema pengawasan ke depannya karena siapa yang menjamin setelah dilakukan pengampunan, uang itu akan kembali. Sehingga emmang harus benar-benar didesain kebijakan yang memastikan bahwa dana tersebut kembali di tempatkan di perbankan Indonesia.
“Kalau diterapkan dalam yang terlalu cepat, tanpa prasarat tadi dipenuhi, memang ini akan berpotensi menimbulkan oral hazard. Hanya memberikan tiket atau cek kosong pada orang-orang yang mau mendapatkan pengampunan, tanpa kepastian kita (negara) mendapatkann benefit atau manfaat,” ujarnya.
Dengan demikian, Prastowo menuturkan, ketepatan waktu menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam implementasi tax amnesty. Ia berpendapat, waktu yang tepat itu tahun 2017 ketika era pertukaran informasi otomatis antar negara ini berlaku.
“Jadi menurut saya timing-nya harus tepat. Ibaratnya saya punya kewenangan buka rekening dan meminta data di luar negeri. Maka saya bilang ke wajib pajak kalian harus betulkan SPT sebelum saya tegakkan hukum. Nah, sekarang saja senjatanya belum punya. Tapi mau menawarkan pengampunan, ya kemungkinan tidak optimal,” tuturnya.
Oleh karena itu, Prastowo menyatakan, yang terpenting adalah sosialisasi terlebih di masyarakat dan menunggu Ditjen Pajak ini menjadi sebuah badan yang independen karena akan menguatkan posisinya secara hukum dan kewenangan bertindak. “Menurut saya nanti sekitar 2017 itu yang ideal ya. Apalagi Ditjen Pajak sudah jadi badan tahun depan. Jadi soal timing itu yang penting. Harus di pertimbangkan,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Mekar Satria Utama, mengklaim di tahun ini pun kebijakan tax amnesty bisa dilakukan tanpa harus menunggu Ditjen Pajak menjadi sebuah badan independen yang bertanggungjawab kepada presiden. Sebab pada prinsipnya pihaknya hanya perlu menambah informasi terkait harta kekayaan atau sumber penghasilan yang selama ini belum dilaporkan.
“Selama ini kita sudah punya data based. Jadi untuk mereka yang sudah didata based, yang dilaporkan kurang, kita tinggal tambahkan. Kalau mereka belum punya NPWP tinggal kita daftarkan dan laporkan. Jadi backbone-nya kita sudah punya, sistem kita punya, tinggal nanti kita perkuat, kita beri pemisahan, sehingga informasi itu betul-betul bisa kita monitor nantinya,” kata Mekar.
Lebih lanjut Mekar menyatakan, manfaat dari tax amnesty ini juga sudah cukup jelas bahwa bisa meningkatkan jumlah pembayar pajak yang lebih besar lagi dan basis pemajakannya juga lebih besar. Jadi kalau sebelum ada tax amnesty itu sumber wajib pajak yang dilaporkan hanya dua saja, berikutnya bisa saja yang dilaporkan menjadi 5 sumber.