JAKARTA. Kondisi ekonomi global telah menyeret ekonomi nasional ke jurang pelambatan. Tidak hanya di sektor makro dan finansial, pelambatan ekonomi juga membuat kinerja korporasi, seperti perusahaan publik menurun.
Depresiasi rupiah terhadap dollar AS menambah dalam penurunan kinerja emiten. Kondisi tersebut dipastikan bakal semakin membuat target penerimaan negara dari pajak penghasilan (PPh) badan jauh dari harapan.
Di semester I-2015, mayoritas emiten saham yang sudah melaporkan kinerja keuangannya mencatatkan rapor merah. Kalau tidak rugi, labanya merosot drastis. Bahkan laba bersih sekitar 20 emiten saham yang masuk daftar Indeks LQ-45, merosot drastis.
Contohnya pendapatan PT Astra Internasional Tbk (ASII) yang pada semester I-2015, melorot 9% menjadi Rp 92,5 triliun. Laba bersihnya turun 18% menjadi Rp 8,05 triliun. Anak usaha ASII, yakni PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) juga membukukan rugi kurs Rp 359,61 miliar.
Jebloknya kinerja AALI juga akibat penurunan pendapatan. Laba periode berjalan perusahaan CPO ini anjlok 66,49% menjadi Rp 477,9 miliar, ketimbang akhir Juni tahun lalu yang masih Rp 1,43 triliun.
Sedangkan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) merugi Rp 272,12 miliar pada semester I-2015. Walau tidak bisa disangkal juga ada emiten yang diuntungkan dari pelemahan nilai tukar, seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL).
Jebloknya kinerja korporasi ini telah mengkhawatirkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Mekar Satria Utama mengatakan, untuk bisa mengejar target penerimaan PPh, diperlukan kerja yang lebih keras lagi.
Berdasarkan data realisasi penerimaan PPh pasal 25/29 untuk badan per 31 Mei 2015, penerimaan PPh badan tercatat Rp 82,77 triliun atau 37,47% dari target Rp 220,87 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan
(APBNP) 2015.
(APBNP) 2015.
Dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 74,45 triliun, realisasi PPh badan sampai Mei 2014 tumbuh 11,17%. "Sebenarnya masih tumbuh," katanya.
Sementara sampai Juni 2015, realisasi penerimaan PPh non migas secara total mencapai Rp 263,10 trilun dari target Rp 629,84 tiliun.
Untuk mengejar kekurangan penerimaan pajak, Mekar Satria bilang, Ditjen Pajak mengandalkan reinventing policy dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sementara itu, pengamat pajak Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako mengatakan, pemerintah bisa membidik penerimaan PPh badan sejak awal tahun. Caranya adalah dengan melihat potensi belanja modal perusahaan terbuka di awal tahun dan berapa potensi keuntungan yang akan didapat.