JAKARTA. Pemerintah berencana menambah pembiayaan utang untuk menutup defisit pada tahun ini. Sebab pelebaran defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2015 kian tak terhindarkan seiring minimnya realisasi penerimaan pajak.
Data Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menunjukkan, sampai akhir September 2015, realisasi penerimaan pajak baru mencapai 53,02% dari target sampai akhir tahun yang sebesar Rp 1.294 triliun.
Jika dibandingkan dengan realisasi periode yang sama tahun lalu, penerimaan pajak sampai 30 September 2015 masih minus 0,26%. Seluruh realisasi penerimaan tercatat minus dibandingkan tahun sebelumnya, kecuali untuk Pajak Penghasilan (PPh) non-migas yang masih tumbuh 8,65% dibandingkan tahun sebelumnya.
Walau realisasi penerimaan minim, pemerintah bersikeras tidak akan memangkas belanja, terutama belanja modal. Karena itu, pemerintah harus mencari utang. "Harus ada pembiayaan tambahan," ujar Menteri Koordinator Ekonomi Darmin Nasution.
Sebenarnya pemerintah sudah melebarkan target defisit APBNP 2015 dari sebelumnya 1,9% dari produk domestik bruto (PDB) atau sebesar Rp 222,5 triliun menjadi 2,23% dari PDB atau Rp 260 triliun.
Namun perhitungan defisit tersebut dengan asumsi terjadi shortfall penerimaan pajak sebesar Rp 112,5 triliun dari target Rp 1.294,2 triliun. Nah, shortfall itu bisa bertambah, karena Ditjen Pajak memperkirakan shortfall penerimaan pajak tahun ini bisa mencapai Rp 120 triliun. Dengan demikian, defisit anggaran bisa melebihi 2,23%.
Tapi Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemkeu) Askolani optimistis, defisit APBNP 2015 tidak akan melebar lagi. Sebab, realisasi penyerapan belanja negara sampai akhir tahun tidak akan mencapai 100%. Menurutnya, tahun ini belanja negara bisa di bawah 90%, karena ada beberapa program yang berpotensi tidak maksimal.
Beberapa program anggaran yang sulit terealisasi 100%, antara lain program dana desa yang sampai kini terkendala. Selain itu juga program pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang baru mulai berjalan pada sekitar bulan September 2015.
Ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam mengatakan, upaya menggenjot pembiayaan cukup realistis dilakukan saat ini. Apalagi, dengan kondisi pasar yang membaik, cara itu menguntungkan karena yield Surat Berharga Negara (SBN) dapat lebih rendah.