Follow Us :

JAKARTA – Pemerintah tengah memfinalisasi revisi target penerimaan pajak 2016 dari semula Rp 1.360,2 triliun menjadi sekitar Rp 1.226,94 triliun. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menjelaskan, revisi tersebut didasarkan pada pertumbuhan alami sekitar 10% dari realisasi penerimaan pajak 2015 sebesar Rp 1.060,85 triliun dan hasil kebijakan tax amnesty Rp 60 triliun.

Bambang Brodjonegoro mengatakan, review target 2016 tersebut dilakukan dengan melihat realisasi penerimaan pajak tahun lalu sebesar Rp 1.060,85 triliun atau hanya sekitar 81,97% dari target APBNP 2015 sebesar Rp 1.294,25 triliun. Sedangkan penerimaan pajak dari kebijakan revaluasi aset tahun 2015 sebesar Rp 20,14 triliun, dua kali lipat lebih dari target.

“Dengan menghitung perkiraan pertumbuhan ekonomi dan inflasi tahun 2016, berarti target penerimaan pajak tumbuh (secara alami) sekitar 10% dari realisasi penerimaan 2015. Ini ditambah upaya keras (extra effort) yang akan dilakukan seperti kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty),” kata Bambang Brodjonegoro dalam konferensi pers di Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Senin (11/1).

Dengan revisi tersebut, lanjut Bambang, pihaknya tetap berupaya agar penerimaan pajak makin membaik, namun target 2016 menjadi lebih kredibel dan lebih jelas asal usulnya. Hal ini antara lain dengan menghitung bahwa pertumbuhan ekonomi ditargetkan naik dari 4,73% tahun ini menjadi 5,3% dan inflasi 4,7% berdasarkan APBN 2016.

Perluas Basis Pajak
Bambang mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak akan menjadi prioritas pembahasan pada masa sidang pertama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Januari ini. Secara umum, tax amensty juga dinilai sebagai jalan bagi DJP untuk bisa memperluas basis pajak (tax base). Dengan mempunyai basis pajak yang jelas, DJP bisa memutuskan seberapa besar penurunan pajak penghasilan (PPh) badan yang akan dilakukan, serta kebijakan terkait lainnya.

“Sebagai langkah pembenahan 2016, DJP harus fokus pada sumber penerimaan wajib pajak orang pribadi (WPOP), khususnya pasal 25 dan 29. Pasalnya, bila bergantung pada WP badan akan sangat rentan dengan terpaan kondisi ekonomi. Ini juga mengingat tingkat kepatuhan WPOP masih sangat rendah,” imbuh Bambang.

Bila menilik data periode Januari-November 2015, penerimaan PPh pasal 25 dan 29 OP sebesar Rp 5,7 triliun atau sekitar 110,2% dari target sebesar Rp 5,2 triliun. Sedangkan PPh pasal 21 (WPOP karyawan) mencapai Rp 102, 1 triliun atau sekitar 80,5% dari target Rp 126,8 triliun. “Jadi, meski tahun ini melampaui target, penerimaan dari PPh pasal 25 dan 29 masih sangat kecil,” ujar Bambang.

Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengungkapkan, yang terdaftar sebagai WPOP baru sebanyak 27 juta orang. Padahal, kalangan menengah dengan uang belanja Rp 100.000-200.000 per hari mencapai 129 juta orang.

Dengan melihat data tersebut, ada potensi WPOP baru yang sangat besar. Untuk itu, DJP akan menyiapkan sarana ataupun infrastruktur pendaftaran nomor pokok wajib pajak (NPWP) yang lebih sederhana dan bisa dijangkau masyarakat.

“Bagaimana caranya, kami ajak dengan gotong royong. Daftar NPWP tidak perlu aneh-aneh syaratnya. Di mall dan di mana pun nantinya bisa saya titipkan,” kata Ken.

Senada, Direktur Center of Indonesia Taxation and Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, target pajak 2016 bisa naik 15% dibanding pencapaian pada 2015, jika pemerintah mengubah struktur penerimaan dari yang mengandalkan PPh badan menjadi PPh OP. “Kalau tahun ini pemulihan (ekonomi) lebih bagus berarti ada kenaikan pertumbuhan alami pajak 10% plus extra effort 5%, maka 15% total kenaikannya memungkinkan. Pemerintah harus mengubah struktur perpajakan seperti negara maju, harusnya pertama-tama PPh OP, baru PPN, setelah itu baru PPh badan. Pemerintah juga perlu memaksimalkan penerimaan dari PPN,” kata Yustinus.

Persoalan WPOP ini tidak terlepas dari belum leluasanya DJP mengakses data keuangan. Pasalnya, untuk membuat orang mau membayar pajak dengan menggunakan sistem sukarela (voluntary) masih cukup sulit.

Sementara itu, pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center Darussalam mengatakan, keberhasilan mengejar potensi pajak tidak akan terlepas dari realisasi pertumbuhan ekonomi. Upaya menggenjot WPOP ini sudah menjadi isu lama.

“Namun, sebagus apa pun kebijakan dan hukum pajak, tanpa administrasi yang bagus is nothing. Jadi, harus mempercepat reformasi kelembagaan DJP. Pembenahan administrasi perpajakan jangan ditunda, nanti kalau kelamaan tidak ada kepastian untuk memungut perpajakan. Pembentukan badan penerimaan pajak dipercepat, untuk memperbaiki administrasi pajak,” kata Darussalam ketika dihubungi Investor Daily.

Darussalam memproyeksikan, penerimaan pajak tanpa upaya ekstra keras hanya bisa mencapai Rp 1.140 triliun tahun ini. Namun, bila dilakukan dengan upaya keras mampu mencapai Rp 1.240-1.260 triliun.

“Penerimaan pajak di 2016 harus direvisi menjadi lebih realistis, yaitu di angka maksimal Rp 1.260 triliun. Target tersebut dengan bauran dari proyeksi optimistis yang dilakukan dengan mencapai tax ratio lebih tinggi,” kata Darussalam.

Untuk mendukung reformasi pajak, pada 2016, pemerintah akan berupaya mempercepat keluarnya UU Pengampunan Pajak. Selain itu, mempercepat revisi UU Bea Meterai, UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), UU PPh, dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Restitusi Capai Rp 95 T
Berdasarkan data Kemenkeu, penerimaan pajak 2015 sebesar Rp 1.060,85 triliun dari target Rp 1.294,25 triliun pada APBN Perubahan 2015. Pencapaian itu berasal dari PPh nonmigas sebesar Rp 547,46 triliun; PPN dan PPnBM sebesar Rp 423,53 triliun; PBB sebesar Rp 29,40 triliun; pajak lainnya sebesar Rp 5,5 triliun; dan PPh migas sebesar Rp 49,72 triliun. Adapun restitusi tahun lalu mencapai Rp 95 triliun dan tingginya restitusi ini diperkirakan karena masih banyak faktur pajak fiktif.

“Tahun 2015, kami berhasil memperoleh penerimaan pajak dari kebijakan revaluasi aset sebesar Rp 20,14 triliun. Rinciannya, PPh final revaluasi aset dari badan usaha milik negara (BUMN) sebesar Rp 10,6 triliun, swasta Rp 9 triliun, dan sisanya berasal dari WPOP,” papar dirjen pajak.

Dirjen pajak menuturkan, WP BUMN yang banyak menggunakan insentif tersebut berasal dari sektor perbankan. DJP masih menerapkan kebijakan revaluasi aset pada semester I dan II-2016 dengan tarif PPh masing-masing sebesar 4% dan 6%, lebih kecil dari tarif normal 10%. Sedangkan hingga akhir tahun lalu tarif PPh-nya hanya dikenakan sebesar 3%.

Sebelumnya, Kementerian BUMN sudah mengumpulkan 79 perusahaan pelat merah yang masuk dalam daftar perusahaan yang berpotensi melakukan revaluasi aset.

error: Content is protected