Follow Us :

JAKARTA, KOMPAS — Beratnya tekanan ekonomi yang dirasakan di dalam negeri tahun ini akan berlanjut minimal sampai 2016. Dalam situasi demikian, pajak sebaiknya menekankan pada ekstensifikasi. Langkah ini bukan hanya agar sektor riil bertahan, melainkan juga stimulus bagi swasta.

"Ini bukan saat yang tepat untuk menggenjot pajak. Semakin agresif pajak dalam situasi seperti sekarang ini, justru akan sangat kontraproduktif," kata Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, A Tony Prasetiantono, Minggu (4/10), di Yogyakarta.

Pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 menetapkan target-target pembangunan ambisius. Konsekuensinya, pajak sebagai sumber utama pembiayaan pemerintah ditargetkan tinggi. Realisasi pajak yang selama 2009-2014 rasionya terhadap produk domestik bruto rata-rata 11 persen per tahun ditargetkan melonjak menjadi 13 persen pada 2015. Pada, 2019 targetnya melambung menjadi 16 persen.

Namun, menurut Tony, situasi perekonomian global yang telah berubah dan memberi tekanan berat tidak memungkinkan lagi bagi pemerintah untuk kaku berpatokan pada target tersebut. Secara realistis, banyak target yang tidak mungkin tercapai, termasuk pajak. Usaha untuk memaksakannya justru kontraproduktif bagi perekonomian secara keseluruhan.

"Oleh sebab itu, pemerintah sebaiknya merelaksasi pajak. Pemerintah jangan lupa, yang bisa memberikan efek berganda tidak saja pemerintah, tetapi juga swasta. Pemerintah harus memberi kenyamanan kepada swasta. Jika situasi sudah membaik, pelan-pelan pajak bisa digenjot lagi," kata Tony.

Tony memperkirakan, tekanan ekonomi dalam negeri masih akan berlangsung setidaknya sampai 2016. Untuk menarik kembali uang senilai 4,2 triliun dollar AS yang telah digelontorkan selama pelonggaran likuiditas tidak bisa dilakukan cepat. Akibatnya, dollar AS masih akan bertebaran di berbagai pasar keuangan global sehingga rawan spekulasi.

Harga komoditas yang rendah, kata Tony, juga akan berlangsung lama. Sebab, harga minyak rendah sebagai patokan diperkirakan juga akan berlangsung lama.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan, upaya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sudah optimal tahun ini. Namun, karena kondisi ekonomi yang berat dan target yang terlampau tinggi, mau tidak mau membuat realisasi jauh di bawah target.

"Saya melihat di internal DJP sekarang sudah lumayan optimal. Namun, karena ekonomi yang memang berat, sulit mengharapkan target tercapai," kata Prastowo.

Target pajak tahun ini adalah Rp 1.294,3 triliun. Hingga akhir September, realisasinya baru mencapai 52,31 persen dari standar 67,83 persen

Prastowo memperkirakan, realisasi hingga akhir tahun maksimal 80 persen. Artinya, realisasi penerimaan pajak kurang sekitar Rp 240 triliun dari target. Adapunn Kementerian Keuangan memperkirakan kekurangannya adalah Rp 120 triliun.

Atas situasi ini, Prastowo menyarankan DJP cukup menjaga agar penerimaan pada triwulan terakhir 2015 tidak turun dari tren bulan-bulan sebelumnya. Tidak perlu ada usaha berlebihan.

error: Content is protected