Wakil Ketua Komisi C DPRD Sumut, Yulizar Parlagutan Lubis, menegaskan, Pemprov Sumut sudah menegaskan bahwa Inalum diberi tenggat waktu hingga Desember ini. Tenggat waktu tersebut merupakan amanat dari UU No 28/2009 dan Perda No 1/2011 tentang Pajak Daerah.
"Dinas Pendapatan sudah memberikan deadline, Desember 2015. Kalau tak dibayar juga, ya disegel. Itu kata aturan. Dan kita memang minta Pemprovsu untuk menegakkan perda," kata Yulizar, Rabu (11/11/2015).
Menurut dia, dalam konteks tunggakan PAP ini, ada yang aneh dari sikap PT Inalum. Sebab Inalum tidak mau menjalankan prosedur Pengadilan Pajak.
"Peraturan bilang, kalau keberatan ajukan ke Pengadilan Pajak. Tapi ini juga tak dilakukan. Mungkin mereka masih cari cara lain ke mana-mana supaya tak bayar sesuai perda," ungkapnya.
Politisi PPP ini menyebutkan, dengan fakta adanya ancaman penyegelan, dia berharap Inalum melakukan banding lewat pengadilan pajak.
"Kalau kita sarankan, ajukan ke pengadilan pajak sebelum deadline. Kalau sudah disegel, susah ceritanya," timpal Yulizar.
Dia menyebutkan, Pemprov Sumut dalam hal ini, Plt Gubernur Sumut untuk berhati-hati dalam menyikapi permintaan Inalum soal perubahan Peraturan Gubernur (Pergub) yang mencantumkan nilai pajak yang harus dibayar. Kata dia, dalam situasi seperti ini, akan muncul asumsi negatif kalau Inalum diberi perlakuan khusus.
"Kalau mau ubah regulasi, harus jelas pijakannya. Apa dasarnya. Permintaan Inalum untuk perubahan Pergub soal PAP, bisa saja dipertimbangkan. Tapi ada apa kok diubah? Apa ada?,"
Sementara Kepala Bidang Pajak Air Permukaan Dinas Pendapatan Sumut, Rita Mestika Hayati yang ditemui di Gedung DPRD Sumut, Rabu (11/11/2015), membenarkan soal deadline itu. "Deadlinenya Desember 2015. Harus dibayar. Peraturan yang bilang begitu," ungkapnya.
Menurutnya, jika Inalum tidak juga punya itikad baik untuk melunasi tagihan PAP, sanksi dari peraturan sudah tegas. "Memang bisa sampai disegel. Tapi kita tak berharap begitu. Kalau bisa dilunasi saja lah," pungkasnya.
Sebelumnya, Direktur Keuangan PT Inalum, Oggy A Kosasih, menegaskan, pihaknya masih berbeda pandangan dengan Pemprov Sumut.
Hal ini sudah dibahas dengan Dirjen Keuangan Daerah. Pihaknya diminta buat surat keberatan. Kalau tidak bisa juga, ke pengadilan.
"Tapi ini belum dilakukan, karena kita mau satu bahasa dulu dengan Pemprov Sumut. Harusnya kalau tarifnya pembangkit listrik, ya jangan dihitung untuk industri," tandasnya.