Follow Us :

Sampai kapan masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) akan menyandera bangsa ini? Respons beragam akan muncul dari berbagai pihak baik yang pro maupun kontra subsidi BBM.

Pihak yang kontra pada umumnya sangat jelas ingin menghapuskan segala bentuk subsidi karena tidak sesuai dengan logika pasar bebas.Sementara pihak yang pro berpendapat bahwa subsidi itu merupakan penyelamat jutaan rakyat kecil di Indonesia yang akan dengan serta-merta terjerembab ke dalam jurang kemiskinan jika subsidi dikurangi atau bahkan dicabut. Lalu bagaimana posisi pemerintah dalam menghadapi pro-kontra tersebut?

Tampaknya pemerintah masih malu-malu.Pertunjukkan sidang paripurna DPR akhir bulan lalu yang salah satu agendanya untuk membahas masalah subsidi BBM menunjukkan keraguraguan itu.Pemerintah berargumen bahwa subsidi BBM “salah sasaran”, namun dalam usulannya tidak berusaha meminimalisasi salah sasaran tersebut,tapi ambil jalan pintas dengan menaikkan harga. Kalau main cabut subsidi,mungkin pihak yang selama ini menjadi penikmat subsidi BBM “salah sasaran” bisa diminimalisasi.

Sayangnya, ada collateral damage yang tidak bisa dipandang sebelah mata,yaitu rakyat kecil. Sudah saatnya pemerintah thinking outside the box.Jangan pilih solusi yang dalam pelaksanaannya akan menyusahkan dan merugikan rakyat kecil. Salah satu yang bisa menjadi pilihan menarik adalah membebankan pajak lebih besar pada para penikmat subsidi BBM “salah sasaran”tersebut.

Memang selama ini para pengguna mobil dan sepeda motor menikmati subsidi lebih besar daripada kontribusinya terhadap pemasukan negara.Ambil saja contoh pengemudi mobil yang ratarata berkendara 50 kilometer setiap hari.Dengan mobil yang umum di pasaran seperti Toyota Avanza,Honda Jazz,Nissan Livina—yang dalam rencana pembatasan cc tidak diwajibkan membeli BBM nonsubsidi—atau merek-merek lainnya,pengemudi tersebut akan menghabiskan sekitar 5 liter premium per hari.

Jika mengambil angka moderat dari pemerintah, tiap liter premium dengan harga minyak dunia saat ini itu disubsidi Rp2.500. Berarti setiap hari pengendara mobil tersebut “disubsidi” pemerintah Rp12.500 dan setahun (365 hari) mencapai Rp4.525.000.Padahal mobil-mobil di kelas itu pajak tahunannya hanya di kisaran Rp2–2,5 juta. Sekarang mari lakukan matematika sederhana.Pada 2010 ada 8,89 juta mobil di Indonesia (BPS).

Jika saja tiap mobil dinaikkan pajak tahunannya Rp2 juta, akan ada tambahan pemasukan instan Rp17,8 triliun untuk pemerintah.Angkanya akan jauh lebih besar jika dilakukan perhitungan lebih lengkap dari pemerintah. Jika di perdebatan pengurangan subsidi pemerintah berargumen bisa menyelamatkan Rp30–40 triliun, dari hanya pos menaikkan pajak kendaraan sudah bisa ditutupi sekitar setengahnya.

Beban subsidi juga akan berkurang karena penggunaan mobil akan berkurang. Ada satu masalah kecil dengan konsep itu,yaitu pajak kendaraan bermotor itu menjadi hak pemerintah daerah.Namun, kalau pemerintah sampai berani bermanuver dengan melakukan perubahan APBN-P yang juga memberikan dampak langsung bagi rakyat kecil, kenapa pemerintah tidak berani mengubah beberapa UU yang mengatur perpajakan utamanya pajak kendaraan bermotor?

Bisasaja pemerintah menaikkan besaran pajak kendaraan bermotor yang dikenakan,namun sekaligus mengubah dengan perhitungan tertentu agar pemerintah pusat mendapatkan persentasenya,namun pemerintah daerah tidak kehilangan sumber pendapatannya. Bolehkah pemerintah menaikkan pajak? Tentu boleh, alasannya sangat sahih.

Lalu akankah terjadi penolakan besar-besaran seperti demonstrasi pengurangan subsidi tempo hari? Tentu tidak. Pengguna mobil jelas akan keberatan,namun mereka tentu tidak bisa berdemonstrasi mengutamakan rakyat kecil. Itu baru namanya kebijakan yang tepat sasaran.

error: Content is protected