Ken yang hampir tiga bulan sebagai pelaksana tugas karena pejabat lama Sigit Pradi Pramudito mengundurkan diri, berpacu dengan waktu mengejar target penerimaan pajak sebesar Rp1.318,7 triliun.
Boleh dibilang, Ken yang kini bertanggung jawab penuh terhadap 70% penerimaan negara, sedang mengemban misi mustahil untuk meraih target. Reformasi perpajakan berjalan tertatih-tatih.
Singkatnya, dia harus berhadapan dengan dua kesulitan sekaligus, internal dan eksternal. Dari aspek internal, dirjen pajak baru harus menghadapi demotivasi karyawan karena tunjangan kinerja dipangkas 20% akibat gagal mencapai target 2015.
Tahun lalu, Ditjen Pajak mencatatkan rekor shortfall penerimaan pajak Rp233,3 triliun.Belum lagi, terobosan dengan mendesakkan pembahasan RUU Tax Amnesty atau
Pengampunan pajak terganjal oleh parlemen, kendati Ketua DPR Ade Komaruddin menyatakan hendak dikebut setelah masa reses, dan telah diundangkan sebelum APBNP 2016.
Undang Undang Pengampunan Pajak sejauh itu memberikan harapan tambahan penerimaan sekitar Rp100 triliun. Namun, bila merunut proses politik yang mesti terlebih dahulu ditempuh melalui parlemen, rasanya sulit untuk turut optimistis bila langkah ini efektif dalam mendongkrak pendapatan pajak 2016.
Dari aspek eksternal, situasi perekonomian saat ini jauh dari menjanjikan, konsumsi jauh melemah, dan program restrukturisasi perekonomian yang hendak mengedepankan produksi jauh dari harapan.
Paket-paket perekonomian –jumlahnya kini sudah sepuluh paket– belum mendapatkan hasil nyata, minimal dari bergeraknya perekonomian lebih cepat. Akselerasi ekonomi berarti potensi penerimaan pajak yang lebih besar.
Belum lagi bila merujuk tren perlambatan ekonomi global karena harga minyak yang melemah, situasi China yang makin mencemaskan, dan Amerika Serikat yang belum juga menemukan resep mujarab memulihkan perekonomian. Lagi-lagi, penerimaan pajak kita berada dalam situasi yang jauh dari menguntungkan.
Namun, pesimisme karena faktor eksternal dan internal bukanlah apologi bagi Direktorat Jenderal sehingga berdiam diri. Kini dengan hampir 40.000 karyawan, semestinya lembaga tersebut memiliki kekuatan yang memadai untuk tampil di depan. Apalagi bila merujuk potensi penerimaan pajak Indonesia sangat terbuka karena masih memilik tax ratio terendah di Asia Tenggara.
Mari kita coba melongok jauh kebelakang tentang rasio pajak dan produk domestik bruto Indonesia, dibandingkan dengan negaranegara tetangga di Asia Tenggara. Pada 1984 tax ratio kita pada level 9%-10%, hampir sama dengan Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
Kini 30 tahun sesudahnya tax ratio Indonesia hanya bergeser tipis jadi 11% sementara negara-negara tetangga tadi, secara berurutan sudah bergerak jauh ke level 22%, 18%, 28% dan 20%.
Jelas ada yang tidak beres dengan reformasi pajak saat ini. Padahal Indonesia, yang disebut sedang menikmati bonus demografi, mengalami pertambahan 7 juta kelas menengah baru setiap tahun!. Mereka inilah yang kini menopang perekonomian dengan konsumsi, tetapi sungguh sayang, tidak bisa di konversi menjadi pertumbuhan penerimaan dari pajak-pajak yang dibayarkan.
Dengan demikian, Ken dan jajarannya sudah seharusnya memperbaiki performa penerimaan dari wajib pajak orang pribadi yang masih tertinggal. Itu merupakan peluang yang tersisa, karena Ditjen pajak tidak bisa bertumpu pada wajib pajak badan karena sifatnya fluktuatif tergantung pada performa profit perusahaan.
Sementara itu, wajib pajak orang pribadi jauh lebih stabil. Para kelas menengah baru, adalah salah satu potensi penerimaan yang bisa digarap dengan optimal.
Sebab ibarat para pemburu, pegawai pajak seperti berburu di kebun binatang, dengan kelas menengah yang terus tumbuh sebagai sasaran. Tentu saja Ditjen Pajak tidak bisa bergerak sendiri. Bagaimanapun lembaga ini berada dalam komando Kementerian Keuangan, sehingga gerak-geriknya juga harus sejalan. Karena
Kementerian Keuangan merupakan bendahara negara, maka sepantasnya pula untuk mematok target yang realistis dalam dua hal sekaligus, penerimaan
dan pengeluara