Banyak perkiraan, penerimaan pajak tahun ini hanya akan berkisar di angka 80%-85% dari target tersebut. Angka perkiraan itu pula yang kemudian menjadi ‘alasan resmi’ bagi
Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito untuk mengundurkan diri, tepat satu pekan silam. Sigit bahkan memperkirakan penerimaan pajak akan mengalami kekurangan alias shortfall sekitar Rp224,04 triliun-Rp246,94 triliun.
Menteri Keuangan Bambang P.S Brodjonegoro, yang langsung menyetujui pengunduran diri Sigit, lantas menunjuk Ken Dwijugiasteadi sebagai pejabat pajak senior sebagai pelaksana tugas Dirjen Pajak yang baru.
Ken mendapatkan beban berat, namun banyak pihak menaruh harapan besar, karena senioritas dan pengalamannya, untuk memperkecil gap shortfall penerimaan pajak tersebut.
Dalam perkiraan Menkeu, proyeksi penerimaan pajak hingga 31 Desember akan berada di kisaran Rp1.100-an triliun, yang berarti tumbuh sekitar 12% dibandingkan dengan penerimaan pajak 2014 yang mencapai Rp895 triliun.
Apabila angka ini terealisasi, sebenarnya tidaklah buruk jika dibandingkan dengan laju ekonomi yang hanya tumbuh di bawah 5%. Ini sekaligus juga menjadi catatan kinerja mantan Dirjen Pajak Sigit, yang telah merintis penerimaan pajak secara persisten dari bulan ke bulan. Terlebih pencapaian itu terjadi di tengah kondisi perekonomian yang tengah melambat disertai penurunan daya beli masyarakat.
Maka, jelas perlu berbagai upaya yang lebih persisten lagi untuk memastikan bahwa gap shortfall pajak ini benar-benar dapat terkelola dengan baik, jangan sampai lebih melebar lagi.
Menkeu memang punya ‘tabungan’ antara lain berupa hasil revaluasi aset, ancang-ancang tax amnesty, dan beberapa langkah lain dalam mendorong kenaikan penerimaan perpajakan hingga akhir tahun ini.
Tahun depan pemerintah akan merevisi sejumlah peraturan perundangan terkait perpajakan, termasuk UU Ketentuan Umum Perpajakan, UU Pajak Penghasilan dan meloloskan RUU Tax Amnesty.
Serangkaian perubahan yang dikemas dalam reformasi perpajakan itu dinilai penting dan strategis, mengingat pemerintah menaikkan target pajak menjadi Rp1.360,1 triliun dalam APBN 2016.
Namun, jelas bahwa pekerjaan rumah utama adalah bagaimana memastikan penerimaan pajak dapat diamankan hingga akhir tahun ini. Meskipun jelas tidak akan dapat memenuhi target seperti yang ditulis dalam APBN-P 2015, setidaknya menekan shortfall lebih besar lagi.
Ini penting agar defisit anggaran tahun ini tidak sampai melebar melampaui konsensus yang diperkenankan dalam UU APBN sebesar 3% dari produk domestik bruto (PDB). Hingga akhir tahun, apabila proyeksi penerimaan pajak benar-benar tercapai di kisaran Rp1.100 triliun, maka defisit APBN 2015 akan berada di kisaran 2,7% dari PDB.
Meskipun angka defisit ini melonjak signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang berkisar di level 1,7%-1,9% dari PDB, pemerintah tampaknya lebih percaya diri, mengingat kenaikan rasio defisit tersebut memang by design.
Memang, sebagian defisit tersebut disumbang oleh shortfall target penerimaan pajak, namun sebagian lainnya adalah akibat dari perubahan strategi fiskal yang dijadikan instrumen pertumbuhan dengan bobot yang lebih besar.
Pemerintah tampaknya semakin percaya, bahwa instrumen fiskal bukan lagi semata-mata alat memelihara stabilitas, tetapi juga menjadi sumber pertumbuhan ekonomi melalui belanja modal, terutama di sektor infrastruktur.
Terlebih di tengah kondisi pelambatan ekonomi global dan harga komoditas yang jatuh beberapa tahun terakhir ini. Instrumen fiskal, tak dapat dipungkiri, menjadi kian penting untuk menggantikan mesin pertumbuhan dari sektor komoditas yang selama ini dinikmati perekonomian Indonesia.
Kita melihat, policy stan d pemerintah sudah tepat. Dalam konteks itulah, kita mendesak pemerintah agar bersungguh hati dalam mengamankan penerimaan pajak. Langkahnya, antara lain dengan perbaikan administrasi maupun menunjukkan kepada publik bahwa uang pajak bebas korupsi, dan benar-benar dimanfaatkan secara efektif untuk pembangunan ekonomi.
Dengan kata lain, apabila masyarakat yakin bahwa uang pajak akan dikirim kembali untuk peningkatan kesejahteraan mereka, kepatuhan untuk membayar pajak secara perlahan dan pasti akan terus meningkat.