JAKARTA. Perlambatan ekonomi global dan nasional menyulitkan jalan pemerintah mencapai target yang dipasangnya tahun ini. Dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan di bawah 5%, proyeksi penerimaan pajak juga bakal meleset.
Kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan tahun ini memang telah memicu pesimisme otoritas pajak. Bahkan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) Sigit Priadi Pramudito mengindikasikan adanya kekurangan penerimaan (shortfall) pajak yang lebih besar daripada perkiraan, yakni sebesar Rp 120 triliun.
"Bisa meleset (dari perkiraan shortfall Rp 120 triliun). Bisa lebih, bisa kurang. Tetapi kami upaya dulu sebelum ngomong," kata Sigit, akhir pekan lalu.
Sebelumnya Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemkeu Suahasil Nazara memperkirakan pendapatan negara hingga akhir tahun akan mengalami shortfall sebesar Rp 111,8 triliun. Kemungkinan pelebaran shortfall pajak jelas ada. Data Ditjen Pajak per 31 Juli 2015 menunjukkan, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai salah satu indikator konsumsi masyarakat, minus. Per 31 Juli 2015, penerimaan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) hanya Rp 202,7 triliun, lebih rendah 6,22% dibanding realisasi periode yang sama 2014 (lihat tabel).
Sedangkan realisasi penerimaan pajak sampai akhir Agustus 2015, papar Sigit, hanya Rp 592,5 triliun. Angka ini lebih rendah dibandingkan realisasi penerimaan pajak pada periode sama tahun lalu senilai Rp 606 triliun.
Begitu juga dengan penerimaan dari pos kepabeanan dan cukai. Proyeksi yang mengatakan penerimaan bea cukai terdongkrak pasca Lebaran juga meleset. Hingga akhir Agustus lalu, Ditjen Bea Cukai baru mengumpulkan 51,49% dari target APBN-P 2015 sebesar Rp 195 triliun.
Target tax ratio meleset Akibatnya, rasio pajak (tax ratio) terhadap PDB tahun ini diperkirakan tidak mencapai 12%. Angka ini jauh di bawah target Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2015 yang 12,7%.
"Cuma 11,9%. Termasuk penerimaan dari migas, non migas, perpajakan," kata Sigit. Jurang lebih lebar terjadi jika dibandingkan dengan rasio pajak dalam definisi lebih luas. Yakni, perbandingan antara penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dengan produk domestik bruto (PDB) nominal, yang ditargetkan 13,7%.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan, target tax ratio tahun ini tidak lagi realistis.
Bahkan, dia memperkirakan shortfall pajak tahun ini bisa mencapai Rp 240 triliun, dua kali lipat proyeksi pemerintah. Artinya penerimaan pajak tahun ini hanya mencapai 80% dari target Rp 1.294 triliun.
Dengan memperhitungkan realisasi penerimaan pajak tanpa memasukkan bea dan cukai yang sebesar 80% dan pertumbuhan ekonomi 4,7%, Yustinus memperkirakan tax ratio tahun ini hanya 9,6%.
"Jika memperhitungkan keseluruhan perpajakan, bisa 90% dari target," katanya. Jadi, tax ratio mencapai 10,6%.