JAKARTA. Data sementara yang dikeluarkan pemerintah menyatakan, peneriman negara semester pertama tahun ini mencapai Rp 697,4 triliun atau 39,56% dari target di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. Sektor pajak menyumbang penerimaan terbesar yakni Rp 477 triliun, naik tipis 3,85% dari periode sama tahun lalu. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak perlu mengeluarkan terobosan baru lagi jika ingin target pajak tercapai.
Memang, dibanding bulan-bulan sebelumnya, perhitungan sementara pada Juni ini sudah lebih baik. Pasalnya, pada bulan Mei lalu, penerimaan pajak masih tumbuh negatif dibandingkan setahun sebelumnya.
Contoh saja, per akhir Mei lalu total setoran Ditjen Pajak hanya mencapai Rp 377,03 triliun, turun 2,44% dari setahun sebelumnya. Bahkan, penurunan setoran pajak hingga akhir kuartal pertama malah lebih besar lagi mencapai 5,63% atau hanya terkumpul Rp 198,23 triliun.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemkeu) terbaru (30/6), kenaikan setoran pajak per akhir Juni itu berasal dari peningkatan penerimaan pajak penghasilan (PPh) non minyak dan gas (migas) yang mencatatkan penerimaan Rp 263,1 atau 41,8% dari target APBN-P 2015. Capaian itu juga tumbuh sekitar 15% dari semester pertama tahun lalu yang Rp 228,2 triliun.
Lalu dari penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada semester pertama 2015 sekitar Rp 183,7 triliun atau hanya 31,9% dari target. Angka itu tumbuh 0,5% dibandingkan capaian tahun lalu Rp 182,7 triliun. Capaian ini cukup positif mengingat penerimaan PPN sebelumnya mencatat pertumbuhan negatif.
Direktur Jenderal (Ditjen) Pajak Kemkeu Sigit Priadi Pramudito menyatakan, buruknya kondisi ekonomi semester pertama tahun ini berdampak pada melambatnya pertumbuhan konsumsi masyarakat. Walhasil, penerimaan PPN tak maksimal.
Sigit menjelaskan, selama ini penerimaan PPN terbesar berasal dari sektor otomotif, rokok, dan pertambangan. Tak heran kinerja PPN tak optimal, karena tiga sektor ini sedang tertekan. Bisnis otomotif sepi karena masyarakat mengerem pembelian mobil baru. Penjualan rokok ikut tertekan oleh aturan. Sedangkan sektor pertambangan juga lesu akibat larangan ekspor mineral mentah.
Kendati demikian, Sigit meyakini realisasi sebenarnya pada pos PPN masih akan meningkat. "Perhitungan sementara ini mengacu data tanggal 20-an. Biasanya PPN masuk tanggal 29-30, makanya bisa lebih lagi. Tapi biasanya dalam setahun porsi PPN 40% dari realisasi penerimaan total," kata Sigit, Kamis (2/7).
Adapun target penerimaan PPN dalam APBN-P 2015 mencapai Rp 629,8 triliun. Dengan porsi 40%, jika dihitung, maka estimasi penerimaan PPN tahun ini mencapai Rp 517,6 triliun. Menurut Sigit, angka tersebut merupakan hasil maksimal yang bisa terkumpulkan Ditjen Pajak.
Angka itu juga telah memperhitungkan penutupan kebocoran PPN dari faktur pajak fiktif yang berpotensi sebesar 5% dari keseluruhan penerimaan PPN. Ditjen Pajak sudah mewajibkan penggunaan faktur pajak secara elektronik atau e-faktur mulai 1 Juli 2015.
Mekanisme e-faktur ini bisa mencegah faktur pajak fiktif. Persiapan 2016 Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan, tidak ada lagi yang bisa dilakukan Ditjen Pajak untuk mengejar penerimaan pada semester kedua tahun ini. Sebab, program-program Ditjen Pajak juga sudah tidak terlalu efektif. Berbagai kebijakan pendongkrak pajak belum membuahkan hasil, seperti reinventing policy yang sepi peminat.
Proyeksi Prastowo, pemerintah hanya bisa mengantongi penerimaan pajak maksimal sebesar 92% dari target dalam APBN-P 2015. Dengan catatan, pemerintah fokus pada program reinventing policy dan pengamanan PPN melalui pemberlakuan e-faktur. "Capaian 92% saja sudah bagus karena secara nominal lebih besar dari capaian tahun lalu," kata Prastowo.
Menurut Prastowo, pemerintah harus memanfaatkan semester kedua tahun ini untuk menentukan basis penerimaan pajak di tahun berikutnya. Postur APBN tahun depan bisa menjadi tak sehat akibat pembengkakan bunga utang untuk mengamankan APBN tahun ini.