Beberapa penyebab kasus sengketa pajak ini sulit untuk diputuskan antara lain, pertama, pengadilan pajak hanya ada di Jakarta, sehingga semua sengketa perpajakan harus diputuskan di tingkat pusat. Kedua, hak banding yang dimiliki oleh wajib pajak terlalu banyak, sehingga wajib pajak sedikit-sedikit banding.
Tjip Ismail, mantan Ketua Pengadilan Pajak yang masih menjadi hakim pajak berpendapat, kondisi ini terjadi karena lemahnya Undang-Undang Nomor 14/2002 tentang Pengadilan Pajak. Menurut dia, ada beberapa ketentuan di undang-undang ini yang menghambat kinerja kantor pajak.
Misalnya, dengan memusatkan semua kasus di Jakarta, menyebabkan kasus menjadi menumpuk. Padahal saat ini jumlah hakim pajak hanya 50 orang saja. Menurut pengalaman Tjib, dengan jumlah hakim sebanyak ini rata-rata penyelesaian kasus dalam sehari hanya sekitar 50 perkara. "Jumlah hakim pajak yang sedikit berpengaruh terhadap kinerja mereka," kata Tjip.
Ia menyarankan, pemerintah segera mengamandemen UU Pengadilan Pajak. Poin penting yang perlu ditambah adalah membuka pengadilan pajak di tingkat daerah, sehingga sengketa pajak bisa diselesaikan secara cepat.
Seharusnya proses peradilan pajak bisa sederhana, cepat dan murah supaya bisa memenuhi kehendak wajib pajak. "Dengan pengadilan pajak hanya Jakarta itu menjadi hambatan," kata Tjip, kemarin.
Tjip juga menyoroti perlunya kriteria kasus pajak seperti apa yang boleh naik di tingkat banding agar tidak semua sengketa pajak naik banding. Sebab, sering kali banding dilakukan hanya untuk menunda eksekusi, bukan memenangkan sengketa.
Hal senada juga dikatakan oleh Darussalam, Managing Partner Danny Darussalam Tax Center. Ia menuding proses banding ini menjadi bisnis bagi konsultan pajak.
Konsultan pajak yang sebenarnya tahu bahwa sengketa pajak yang melibatkan kliennya sebenarnya perkara pajak yang sederhana. Tapi karena ada penghasilan yang bisa mereka peroleh, konsultan sering menyarankan kliennya banding. "Ini kurang ajar namanya karena itu harus segera dihentikan dengan memperbaiki aturan yang ada saat ini, supaya celah-celah seperti itu bisa ditutup," tandasnya.
Direktur Keberatan dan Banding Direktorat Jenderal Pajak Catur Rini Wulandari berharap, kalaupun UU Peradilan Pajak diamandemen, beleid tersebut bisa tahan lama agar tidak kadaluwarsa.