Follow Us :

JAKARTA. Sidang kasus dugaan pelanggaran etika oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto di Majelis Kehormatan Dewan (MKD), dikhawatirkan bakal menyandera pembahasan sejumlah Undang-Undang (UU) yang sedianya terbit tahun ini. Salah satunya adalah pembahasan  Rancangan  Undang-Undang Pengampunan Pajak atau tax amnesty.
 
Walau Badan Legislatif (Baleg) DPR dan pemerintah sudah sepakat menjadikan RUU ini inisiatif pemerintah, pembahasannya baru bisa dilakukan setelah ada pengesahan bahwa RUU  ini masuk program legislasi nasional (Prolegnas) perubahan 2015 melalui
rapat paripurna. Padahal masa sidang tahun 2015 berakhir 18 Desember 2015 besok.
Kekhawatiran ini diungkapkan oleh Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo. Dengan masa sidang yang sangat sempit adalah memperpanjang masa sidang  tahun ini  agar RUU  tax amnesty berlaku awal  tahun depan. Ada pula opsi lain, yaitu memundurkan pembahasan RUU ini dan masuk menjadi Prolegnas 2016.
Walau pembahasan RUU ini terancam molor dari  jadwal, DPR mengaku akan berusaha agar aturan  ini selesai tahun ini. Alasannya, RUU  ini penting untuk meningkatkan basis pajak, sehingga penerimaan negara 2016 aman.
Anggota Baleg sekaligus Anggota  Komisi  XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Muhammad Misbakhun bilang, RUU pengampunan pajak mendukung upaya pemerintah mendapatkan sumber penerimaan negara di tengah defisit anggaran. "Kita berharap cepat selesai," katanya.
 
Tidak ada repatriasi
 
Terkait RUU pengampunan pajak atau tax amnesty  ini, Misbakhun mengatakan, da-lam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty yang telah direvisi, tidak ada kewajiban  repatriasi  atawa menarik dana dari luar negeri ke  bank  di  dalam  negeri. "(harta) Hanya dicatatkan saja, tidak musti ditarik (ke Indonesia)," ujarnya, kepada KONTAN, Kamis (4/12).
 
Jika hal itu benar, maka RUU yang berisi 22 pasal  ini tidak akan berdampak maksimal bagi perekonomian Indonesia. Tanpa  ada  ketentuan yang mengikat para pengemplang pajak untuk melakukan repatriasi aset dan hartanya, dikhawatirkan tidak ada dana yang pulang ke Indonesia.
Pelaksana Tugas  (Plt) Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi  bilang, yang terpenting adalah melaporkan semua harta yang disimpan di luar negeri. "Kalau soal ditaruh di mana, mau disimpan di bank sini atau bank sana (luar negeri) akan sama saja," tuturnya.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, tanpa ada aturan jelas dan mengikat tentang repatriasi, kebijakan pengampunan pajak ini tidak akan memberi manfaatkan bagi perekonomian nasional.
Jika pemerintah ingin ekonomi terkena dampak positif dari kebijakan  tax amnesty, harta para pengemplang pajak ini juga harus disimpan di sistem keuangan dalam negeri, tak cuma dilaporkan saja.  Apalagi pada awalnya,  semangat RUU ini adalah untuk menarik  dana  dari  para  pengemplang agar bisa diputar di  sistem perekonomian domestik, di samping meningkatkan penerimaan pajak dan memperluas basis pajak.
 
Pemerintah memperkirakan dana WNI yang diparkir di Singapura mencapai Rp  2.000 triliun. Sebab  itu, kebijakan ini juga harus diikuti dengan penyiapan  instrumen  instrumen moneter dan fiskal  jika repatriasi dana terjadi. "Pemerintah harus menyiapkan  instrumen  yang  bisa menampung dana tersebut," katanya.
 
Instrumen  itu  bisa  dalam bentuk  obligasi  khusus  dengan bunga yang lebih rendah. Obligasi  bisa  dimanfaatkan untuk  sektor  infrastruktur dengan imbalan tertentu. Tanpa adanya instrumen khusus, dikhawatirkan  jika  masuk perbankan, bank akan kesulitan untuk menanggung beban bunga. "Bisa diatur, misalnya, dana  yang  dipulangkan  25% dari total harta yang disimpan di luar negeri," kata Yustinus.
 
Pengampunan pajak ini penuh risiko. Sehingga jika dampaknya minim bagi ekonomi, tidak sepadan dengan potensi risiko yang ditimbulkannya.  
 
Catatan lain, dengan ketentuan tarif di bawah 2%, akan banyak  pengemplang  yang akan memanfaatkan kebijakan ini di periode awal. Pemerintah  sendiri mengusulkan tarif tebusan di rentang 1,5%-6%.  Soal  tarif  tebusan  yang super rendah ini, Ditjen Pajak masih membahasnya.  "Tarifnya  masih  diperdebatkan," kata Direktur Peraturan Perpajakan I Irawan.  
error: Content is protected