Follow Us :

Rokok dikenai pajak tinggi untuk menekan konsumsi.

JAKARTA – Selain oleh cukai, rokok akan dikenai pajak sebesar 25 persen.

Rencana itu mencuat dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, pekan lalu.

Menurut Ketua Panitia Khusus Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Harry Azhar Azis, sebagian besar fraksi di DPR mengusulkan pajak rokok maksimal 25 persen. "Bahkan ada yang mengusulkan lebih tinggi lagi," katanya kepada Tempo pada Jumat lalu.

Pengenaan pajak rokok itu, dia menambahkan, merupakan salah satu upaya membatasi konsumsi barang tersebut. "Harus ada pembatasan untuk kesehatan. Ini sebenarnya pajak yang tidak dikehendaki atau tax for the bad."

Menurut dia, konsumsi rokok memang sebaiknya dikontrol. Tidak hanya dengan imbauan moral, tapi juga melalui instrumen pajak. Kalau hanya imbauan moral, seperti fatwa bahwa rokok haram, itu tidak ada artinya. Kecuali kalau merokok menjadi tindak kriminal dan rokok dianggap seperti narkoba.

Soal besaran tarifnya, Harry menjelaskan, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah nantinya hanya menentukan tarif maksimal. Besaran tarifnya nanti bergantung pada kebijakan masing-masing pemerintah daerah.

"Kalau pemerintah menginginkan masyarakat merokok lebih banyak, ya, jangan kenakan pajak. Tapi, kalau ingin membatasi penduduknya merokok, naikkan ke tarif pajak maksimal," ujarnya.

Namun, rencana ini sedang dibahas bersama antara pemerintah dan DPR. Pemerintah dan DPR masih berbeda pendapat soal ini.

Begitu pula cara penerapan pajak ini, yang masih dibicarakan. Menurut dia, ada dua alternatif yang sedang dibahas. Pertama, pajak rokok dikenakan atas cukai. Misalkan harga rokok Rp 10 ribu, termasuk tarif cukai Rp 4.000 (40 persen). Dengan dikenakan pajak tambahan sebesar 25 persen, jika menggunakan alternatif pertama, akan ada tambahan Rp 1.000 (25 persen kali tarif cukai Rp 4.000). Harga rokok di pasaran menjadi Rp 11 ribu per bungkus. Rp 1.000 ini menjadi pajak daerah, masuk ke kantong pemerintah daerah.

Jika opsi ini yang dipilih, kata Harry, dalam pembahasan masih diperdebatkan siapa yang wajib melakukan pungutan, apakah Bea Cukai atau distributor rokok.

Alternatif kedua, pajak rokok dikenakan atas harga retail di pasaran. Jika harga rokok Rp 10 ribu, akan dikenakan pajak sebesar Rp 2.500 (25 persen) dan harga rokok menjadi Rp 12.500.

Jika opsi ini dipilih, menurut dia, pemerintah daerah harus mendaftar toko atau supermarket yang menjual rokok dan mendata berapa rokok yang dijual dalam satu bulan. Kemudian dibuat stiker pada rokok itu bahwa ada pengenaan pajak rokok yang menjadi hak daerah.

"Pemerintah daerah harus aktif. Sekarang kan retribusi dikasih kupon. Ya, modelnya kira-kira begitu," ujar Harry.

Dalam pembahasan juga dibicarakan bahwa pemerintah daerah diwajibkan mengalokasikan 10 persen dari penerimaan pajak rokok itu untuk kepentingan kesehatan dan pelayanan publik.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan Mardiasmo mengakui perdebatan soal pengenaan pajak rokok memang masih alot. Menurut dia, pemerintah dan DPR masih menimbang berbagai opsi.

"Masih dalam proses, belum diputuskan. Minggu ini pemerintah dan DPR akan ketemu lagi," katanya.

Penerimaan Cukai
Tahun Penerimaan Cukai
(triliun rupiah)
2000 11,3
2001 17,4
2002 23,2
2003 26,3
2004 29,2
2005 33,3
2006 37,8
2007 42,0
2008 45,7*

Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Gunanto ES

error: Content is protected