Follow Us :

JAKARTA (Suara Karya): Tuntutan pengusaha kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) generasi pertama untuk memperoleh restitusi pajak bakal direalisasikan.

Pemerintah berencana memakai alternatif pertama yang direkomendasikan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yakni merestitusi pajak perusahaan batu bara.

Langkah penyelesaian itu juga telah dilaporkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Kami sudah lapor ke Presiden. Intinya, pertama adalah kontrak harus dihormati dan kami usulkan memakai alternatif pertama BPKP. Hitung-hitungannya harus tepat. Kalau lebih tidak masalah, tapi bila kurang jadi masalah lagi ke depan. Jadi semuanya harus diaudit dulu," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro di Jakarta, Sabtu (23/8).

Menurut dia, dengan memakai rekomendasi BPKP maka diharapkan di kemudian hari tidak menimbulkan pertanyaan lagi. Namun, sebelum dapat restitusi, pengusaha batu bara harus membayar tunggakan dana hasil produksi batu bara (DHPB) terlebih dahulu.

Saat ini, menurut Purnomo, perusahaan batu bara sudah menyerahkan penghitungan restitusi yang harus dibayar pemerintah dan besar tunggakan DHPB. "Nilai keduanya yang dihitung perusahaan hampir sama, yakni sekitar Rp 7 triliun. Namun, angka ini harus diaudit BPKP dulu," ujarnya.

Dirjen Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi Departemen ESDM, Bambang Setiawan, mengatakan, BPKP merekomendasikan tiga alternatif penyelesaian tunggakan DHPB. Alternatif pertama adalah perusahaan batu bara mendapat restitusi.

Sedangkan alternatif kedua dan ketiga hampir sama, yakni melalui mekanisme reimbursement (penggantian pajak–Red). Tapi ketiga alternatif itu semua mengacu kepada kontrak yang menyebutkan hak dan kewajiban masing-masing," kata Bambang.

Menurut dia, selain pokok tunggakan, BPKP juga akan menghitung denda sebesar dua persen per bulan yang mesti dibayar perusahaan batu bara.

Purnomo mengatakan, adanya tunggakan DHPB tersebut membuat laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap anggaran Departemen ESDM masih berupa wajar dengan syarat. "Kalau DHPB selesai, maka diharapkan hasil audit BPK menjadi wajar tanpa syarat," ujarnya.

Dia juga menambahkan, royalti batu bara ada dua jalur yakni DHPB dan pajak. "Kami nggak ada urusan dengan pajak, itu bukan porsi kita. Urusan kami itu yang DHPB 13,5 persen itu yang kami tuntut," ujar dia.

Diketahui, DHPB merupakan hasil penjualan 13,5 persen batu bara bagian pemerintah yang dititipkan untuk dijual melalui perusahaan ditambah dana pengembangan batu bara. Selain DHPB, para pengusaha juga menunda pembayaran sebagian royalti. Akibat adanya kekisruhan soal royalti ini, 14 pimpinan perusahaan batu bara dicekal. Baik pemerintah maupun pengusaha sebelumnya sama-sama bersikeras pada sisi yang benar.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana lebih jauh mengatakan, penyelesaian seharusnya sudah bisa dilakukan sejak pekan kemarin. Karena itu, lanjut dia, pemerintah dan pengusaha mencapai kesepakatan penyelesaian royalti dan klaim restitusi tidak perlu berlarut-larut lagi.

Menurut dia, pengusaha pemegang izin PKP2B menghargai kontrak dan menyadari kewajibannya sehingga solusi yang diambil itu bisa menguntungkan semua pihak. Misalnya, apa pun yang terjadi, pemegang izin PKP2B generasi pertama membayar sesuai kondisi yang ditandatangani saat itu.

Dia juga mengingatkan, perselisihan antara pemerintah dan perusahaan tambang yang berlarut-larut bisa menimbulkan preseden buruk dunia pertambangan nasional. Mestinya pelaku usaha bisa lebih meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya yang ada seiring dengan tingginya permintaan kebutuhan batu bara setiap tahunnya.

"Jadi sudah jelas hak dan kewajibannya, mengapa harus berlarut-larut penyelesaiannya? Jangan sampai masalah ini menambah potret buruk yang dulu pernah terjadi. Penyelesaian harus menguntungkan kedua pihak dan tidak menimbulkan masalah baru," ujar Sutan.

Meski demikian, kata dia, perusahaan batu bara yang selama ini beroperasi harus juga menanti regulasi yang ada meskipun masih banyak perbedaan persepsi atas aturan tersebut.

"Apalagi saat ini harga batu bara semakin baik, diharapkan memberikan pengaruh besar bagi penerimaan keuangan negara. Di sisi pengusaha, juga semakin terdorong untuk meningkatkan produksinya," katanya.

Berdasarkan data Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Departemen ESDM, total tunggakan royalti enam perusahaan tambang batu bara mulai 2001 sampai 2007 mencapai Rp 7 triliun.

Tunggakan antara 2001-2005 senilai Rp 3,8 triliun saat ini tengah ditangani Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara Departemen Keuangan. Sedangkan sisanya, Rp 3,2 triliiun, yang merupakan tunggakan antara 2006-2007, masih dalam proses penagihan Departemen ESDM.

error: Content is protected