Jakarta, Kompas – Tim gabungan Kementerian Keuangan mengusut restitusi pajak fiktif senilai Rp 607 miliar dalam tiga kasus berlainan. Modus pemalsuan itu menggunakan faktur Pajak Pertambahan Nilai atau PPN fiktif, yang telah berlangsung lama dan bersifat struktural.
”Kasus-kasus ini menyangkut uang dalam jumlah besar dan cukup sistemik. Untuk tiga kasus itu saja sudah melampaui setengah triliun,” tutur Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Senin (3/5), dalam konferensi pers tentang Upaya Kementerian Keuangan dalam Penanganan Mafia Perpajakan, terutama terkait dugaan pelanggaran restitusi pajak.
Ketiga kasus tersebut, pertama, menyangkut kelompok usaha PHS di Sumatera Utara yang dipimpin R dengan nilai pelanggaran mencapai Rp 300 miliar. Saat ini R diduga telah melarikan diri ke luar negeri.
Kedua, kasus seorang konsultan pajak tidak resmi dengan inisial Sol, yang terkait dengan penerbitan faktur pajak tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya senilai Rp 247 miliar. Ketiga, kasus biro jasa dengan inisial W, yang dipimpin TKB, terkait dengan penerbitan faktur pajak fiktif senilai Rp 60 miliar.
Sri Mulyani menegaskan, semua kasus pasti diungkap. Tidak ada batasan waktu pengungkapannya. Tidak ada moratorium atas semua kasus pelanggaran pajak yang ditemukan, bahkan hingga 10 tahun ke belakang.
”Kami tidak mengenal rezim cut off date. Reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan dan Ditjen Pajak memang dilakukan tahun 2007, tetapi bukan berarti ada moratorium,” ujar dia.
100 wajib pajak
Menkeu menjelaskan, beberapa langkah hukum dan korektif yang telah dilakukan Kementerian Keuangan adalah tindakan atas 100 wajib pajak di Medan, Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Ini termasuk pemalsuan dokumen perpajakan seperti surat setoran pajak (SSP) yang baru-baru ini terungkap di Surabaya. Pejabat pajak yang terlibat sudah ditindak atau direkomendasikan untuk dijatuhi hukuman.
Direktur Jenderal Pajak Mohammad Tjiptardjo menyebutkan, pada 2009 dan 2010 ada 10 pejabat pajak yang diberhentikan secara tidak hormat karena terlibat kasus pidana. Mereka bagian dari 516 orang yang dikenai sanksi dalam berbagai tingkatan pada 2009, plus 300 orang yang ditindak dalam triwulan I-2010.
”Paling akhir, kami memberikan sanksi kepada empat pegawai Ditjen Pajak yang menjadi tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen perpajakan di Surabaya. Ada 15 tersangka di sana, empat di antaranya petugas pajak,” kata Tjiptardjo.
Menurut Ketua Komisi Pengawas Perpajakan (KPP) Anwar Suprijadi, salah satu kelemahan di Ditjen Pajak adalah tidak tersebarnya aparat pengawas hingga di kantor perwakilan wilayah.
Bolongnya pengawasan di kantor wilayah, kata Anwar, merupakan salah satu penyebab besarnya potensi kecurangan dan pelanggaran pajak di Indonesia selama ini.
Penempatan aparat pengawas hingga di kantor wilayah sudah dilakukan di Ditjen Bea dan Cukai. Adapun di Ditjen Pajak, pengawas hanya terkonsentrasi di bagian tertentu, terutama di Direktorat Kepatutan Internal Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) dan Direktorat Intelijen dan Penyidikan.
”Saya tidak tahu mengapa sampai sekarang tidak ada pengawas di kantor wilayah Ditjen Pajak. Di KITSDA ada sekitar delapan orang, yang tiga mungkin bisa tetap dipertahankan di situ, yang lima orang sebaiknya disebarkan ke kantor wilayah. Dengan cara ini, pengawasan bisa diperkuat,” kata Anwar.