Follow Us :

JEMBER, KOMPAS – Kendati areal penambang batu kapur dan mangan di Gunung Sadeng, Jember, Jawa Timur, memiliki potensi yang besar, pendapatan pajak yang diterima pemerintah daerah tidak sebanding dengan potensi pertambangan tersebut. Saat ini, hampir separuh dari perusahaan penambangan itu tidak beroperasi sama sekali sehingga izin operasionalnya perlu ditinjau ulang.
 
Kepala Dinas Pendapatan Daerah Jember H Suparpto kepada pers di Jember, Jawa Timur, Sabtu (5/5), mengungkapkan, pajak dari pemegang izin penambangan kapur di Gunung Sadeng atau galian C hanya Rp 161,87 juta.
 
Jumlah tersebut hanya diperoleh dari 12 perusahaan, padahal ada 22 perusahaan pemegang izin operasional di Gunung Sadeng. Adapun royalti yang diterima dari pemerintah pusat sebesar Rp 25,85 juta. "Royalti berupa hasil dari tambang galian B yang diekspor langsung, pajaknya ditarik pusat,"kata Suprapto.
 
Kepala Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jember Widodo Julianto mengatakan, Gunung Sadeng merupakan wilayah penambangan batu kapur. Gunung itu memiliki luas sekitar 279 hektar dengan puncak ketinggian sekitar 80 meter.
 
Pajak pertambangan dikenai berdasar jumlah bahan peledak yang dipakai untuk memproduksi batu kapur. "Besar bongkahan yang diproduksi dari hasil ledakan bisa dihitung kuantitasnya dan bisa menentukan besarnya pajak,"kata Widodo.
 
Ketua Koperasi Pertambangan Batu Kapur Puger Indah, Agus Widianto, mengusulkan ada pos pantau agar kebocoran pendapatan daerah tidak terlalu besar. Padahal setiap malam truk keluar masuk areal Gunung Sadeng membawa bongkahan batu kapur untuk dikirim ke luar daerah.
 
"Supaya penerimaan pajak bisa optimal, pemerintah harus bertindak. Jika perusahaan tidak kerja dalam kurun waktu dua tahun, lebih baik izinnya dicabut dan dialihkan kepada pengusaha lain,"paparnya.
 
Ditulungagung, Jawa Timur, selama lima tahun terakhir ini industri pertambangan di desa-desa di Kecamatan Besuki dan Campurdarat menyusut. Selain karena banyak pelaku industri yang bangkrut, penyusutan itu juga karena sumber daya alam batu di daerah tersebut menipis.
 
Arifin (70), salah seorang perintis industri pertambangan batu di Desa Besole, Kecamatan Besuki mengungkapkan, dulu dia bisa mengirim minimal satu truk batu untuk lantai dan dinding ke pasar nasional senilai Rp 3 juta-Rp 10 juta satu truk. Namun, saat ini tidak pernah lagi.
error: Content is protected