Follow Us :

JAKARTA. Pemerintah terus berupaya menggenjot penerimaan negara dari sektor perpajakan. Dalam kondisi krisis global seperti sekarang, pencapaian target penerimaan pajak bakal lebih sulit ketimbang situasi normal.

Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan, hingga 23 Mei 2012 lalu total penerimaan negara dari sektor perpajakan baru mencapai Rp 360,6 triliun atau sekitar 35,5% dari target di APBN-P 2012 yang mencapai Rp1.016,2 triliun.

Perinciannya, penerimaan pajak penghasilan (PPh), baik minyak dan gas bumi (migas) maupun nonmigas, yang sudah masuk kantong pemerintah sebesar Rp 197,8 trliun. Lalu, pajak pertambahan nilai (PPN) Rp 106,3 triliun dan Pajak bumi dan bangunan (PBB) Rp 1,5 trliun. Sedangkan penerimaan cukai sebanyak Rp 34,2 trliun dan pajak perdagangan internasional atau bea keluar dan bea masuk Rp 19,3 triliun.

Sebagai perbandingan, sepanjang Januari-Mei 2011 total penerimaan perpajakan mencapai Rp 326,57 triliun. Ini berarti, ada kenaikan sebesar 10,4% dari tahun lalu. Tapi dari sisi persentase lebih rendah, karena tahun lalu periode itu mencapai 38,4%.

Tapi, dari pencapaian ini, Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan Agus Suprijanto optimistis hingga akhir tahun nanti penerimaan perpajakan bisa mencapai 98% – 99% dari target. Meski tidak mencapai target, perolehan itu sangat penting supaya defisit anggaran tidak bertambah besar. Cuma, "Selama ini target penerimaan perpajakan selalu tercapai," ungkapnya.

Masih berat

Memang, pengamat pajak Universitas Indonesia Darussalam melihat target penerimaan perpajakan tahun ini cukup berat untuk bisa terealisasi hingga 100%. Pasalnya, target pendapatan yang mencapai Rp 1.016 trliun adalah target penerimaan perpajakan yang pertama yang nilainya di atas Rp 1.000 trliun.

Darussalam menuturkan, banyak faktor yang membuat target penerimaan perpajakan tahun ini sulit dicapai. Misalnya, kondisi eksternal yakni krisis Eropa yang terus memburuk, sehingga berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi global.

Dampaknya mau tidak mau juga berimbas ke Indonesia. Sehingga, "Banyak kebijakan perpajakan yang cenderung mengurangi basis penerimaan perpajakan," jelasnya.

Seperti diketahui, tahun ini pemerintah mengeluarkan pelbagai paket kebijakan perpajakan seperti kenaikan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) menjadi Rp 24 juta per tahun. Jika aturan ini mulai berlaku Agustus nanti, setidaknya pemerintah akan kehilangan potensi penerimaan perpajakan sekitar Rp 6 triliun. Di luar itu, pemerintah juga menerbitkan kebijakan pembebasan PPN untuk sektor usaha tertentu.

Darussalam mengakui, memang tahun ini pemerintah juga melakukan ekstensifikasi pajak untuk menambal potensi pajak yang hilang. Beberapa langkah yang pemerintah jalankan adalah sensus pajak, dan pengenaan bea keluar ekspor bijih mineral.

Hanya, Darussalam bilang, langkah ekstensifikasi ini tak cukup ampuh untuk menutup penerimaan perpajakan yang lenyap. Untuk bisa mencapai target penerimaan perpajakan, pemerintah perlu usaha yang ekstra keras ketimbang tahun-tahun sebelumnya. "Pemerintah harus mempercepat realisasi pengenaan pajak usaha kecil mikro pada tahun ini," jelas Darussalam.

Selain itu, pemerintah juga mesti menguji lebih ketat lagi tingkat kepatuhan membayar pajak sektor pertambangan terutama batubara, kemudian migas, dan perkebunan.

error: Content is protected