JAKARTA. Bak terpukul jurus rajawali, efek pelemahan rupiah sudah ngepret ke sendi-sendi ekonomi. Ini pula yang berimbas ke penerimaan negara. Hingga akhir bulan kedelapan, penerimaan pajak dan cukai masih seret. Bahkan, bila dibanding dengan realisasi di periode sama tahun 2014, minus.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Sigit Priadi Pramudito bilang, sampai akhir Agustus 2015, realisasi penerimaan pajak hanya Rp 592,5 triliun. Ini 2,23% lebih lebih rendah dibanding realisasi penerimaan pajak periode sama 2014 yang mencapai Rp 606 triliun.
Dengan gambaran itu, Dirjen Pajak mengindikasikan, kekurangan penerimaan pajak atau shortfall akan lebih besar dibandingkan perkiraan sebelumnya, yaitu Rp 120 triliun. "Bisa lebih, bisa kurang. Kami upaya dulu," kata Sigit, akhir pekan lalu.
Tak hanya penerimaan pajak yang memble, realisasi penerimaan bea dan cukai hingga 31 Agustus 2015 baru Rp 100,42 triliun atau 51,49% dari target APBNP 2015 yang Rp 195 triliun.
Dibanding periode sama 2014 yang sebesar Rp 103,82 triliun, ini minus 3,27%. Dari total Rp 100,42 triliun, penerimaan
cukai cuma Rp 77,51 triliun, minus 7,06% dibanding realisasi Agustus 2014. Lalu, Penerimaan bea masuk Rp 20,22 triliun dan bea keluar Rp 2,68 triliun.
cukai cuma Rp 77,51 triliun, minus 7,06% dibanding realisasi Agustus 2014. Lalu, Penerimaan bea masuk Rp 20,22 triliun dan bea keluar Rp 2,68 triliun.
Kasubdit Hubungan Masyarakat Ditjen Bea Cukai Haryo Limanseto bilang, penerimaan cukai turun karena penerimaan cukai tembakau anjlok. "Produksi dan konsumsi turun," ujar dia, Kamis (3/9).
Sedang pendapatan bea keluar hanya dari ekspor batubara, kakao, karet, dan kayu. Sementara ekspor minyak sawit belum menyumbang sama sekali akibat harganya yang belum menyentuh batas pengenaan bea keluar.
Tak banyak jalan yang bisa ditempuh menutup anggaran. Menarik utang baru sulit lantaran permintaan yield tinggi. Mengerem belanja susah karena ekonomi butuh pengeluaran pemerintah. "Lupakan utang karena 2015 akan habis, lebih baik, fokus mengefektifkan belanja," ujar Ekonom Institute for Development of Economic and Finance Enny Sri Hartati. Meski belanja pemerintah hanya menyumbang 8%-9% ke angka pertumbuhan.
Pemerintah juga harus fokus menggerakkan ekonomi lewat konsumsi dan investasi. Memberi insentif fiskal dengan penurunan tarif pajak penghasilan bisa jadi pilihan, "Misal lebih rendah 10%," ujar Enny. Pemangkasan itu bisa menumbuhkan konsumsi rumah tangga di atas 5%," ujar dia. Konsekuensinya: penerimaan tambah tekor.