Follow Us :

JAKARTA. Pengajuan pengampunan pajak atawa tax amnesty ternyata tidak mudah. Beberapa syarat yang ditetapkan pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU)  Pengampunan  Pajak mulai menuai pro kontra di kalangan pengusaha yang berniat  menggunakan  insentif pengampunan ini.
 
Salah satu poin krusial adalah syarat bebas persengketaan di Pengadilan Direktorat Jenderal  (Ditjen)  Pajak Kementerian Keuangan.
 
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani berpendapat, semua wajib pajak memiliki hak mendapatkan pengampunan.
 
Karena itu, kata dia, pemerintah seharusnya memisahkan antara wajib  pajak  yang  tengah berperkara dan yang tak berperkara. "Yang sedang berperkara, masing-masing pasti punya  argumentasi  sendiri," kata Haryadi, Minggu (14/2).
 
Haryadi menilai jika syarat itu tetap diberlakukan, maka pengampunan pajak menjadi tidak menarik  dan  tak  adil. Sebab wajib  pajak  yang  tengah bersengketa dengan pemerintah belum tentu salah.
 
Jika nilai pajak yang diperkarakan cukup besar, maka pengusaha akan menghitung kembali untung rugi bila mengikuti kebijakan tax amnesty. Tak menutup kemungkinan, wajib pajak yang berperkara tersebut malah memilih menyelesaikan perkaranya karena nilainya lebih besar daripada  harus  membayar uang tebusan yang ditetapkan pemerintah. Target penerimaan pajak pun tak tercapai.
 
Hariyadi pun meminta pemerintah kembali merumuskan persyaratan dalam RUU tersebut dengan meminta masukan  dari  pengusaha.  "Ke depan, pemerintah juga harus memastikan tidak ada gugatan atau judicial review atas UU ini. Jika ada dan akhirnya malah dibatalkan semua, bagaimana?" tanya Hariyadi.
 
Sebaliknya,  Wakil  Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) Juan Permata Adoe berpendapat, persyaratan tersebut tidak menjadi masalah bagi pengusaha. Menurutnya, yang terpenting adalah jangan ada pasal-pasal di RUU tersebut yang menimbulkan kecurigaan antara pemerintah dan wajib pajak.
 
Juan berpendapat, Indonesia yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation  and Development (OECD) sudah sepakat untuk menerapkan Automatic Ex-change of Information (AEOI) tahun 2018 mendatang. Indonesia  sendiri  sebagai  salah satu anggotanya akan menerapkan kesepakatan tersebut di awal (early adopter), yaitu mulai tahun 2017 mendatang.
 
Dengan  demikian,  segala sengketa dengan wajib pajak harus  diselesaikan  sebelum mengajukan pengampunan.
 
Sebelumnya Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pekan lalu menegaskan syarat  clear and clean bagi wajib pajak yang ingin diampuni kesalahannya. Artinya, wajib pajak harus membayarkan utang pajak jika ada utang pajak  yang  dinyatakan oleh penyidik pajak atau fiskus dan menerima tidak adanya kelebihan pajak apabila dinyatakan  tidak  adanya  kelebihan pajak oleh fiskus.
 
Aturan ini tercantum dalam Pasal 7 ayat 3 huruf f draf RUU Pengampunan Pajak. Bunyinya: pengajuan pengampunan  harus  diiringi  surat pernyataan mencabut permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi; juga mencabut  permohonan  pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar; tidak mengajukan keberatan; banding; gugatan; atau peninjauan  kembali  yang  belum mendapat putusan.
 
Ada pemisahan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, lebih adil jika pemerintah memisahkan antara wajib pihak bersengketa dan yang tidak bersengketa sebagai jalan tengahnya.
 
Wajib pajak bersengketa diberikan kesempatan memperjuangkan keadilannya dan tetap diperbolehkan mengikuti tax amnesty. Jika nantinya ada keputusan dari pengadilan  pajak,  wajib  pajak tinggal  memenuhi  putusan tersebut apakah harus melunasi  utang  pajaknya,  atau mendapatkan restitusi pajak.
 
Yustinus menambahkan jangan sampai persyaratan tersebut menjadi ganjalan bagi wajib pajak yang ingin mendapatkan pengampunan, karena tidak mampu melunasi utang yang tengah disengketakan.
 
Di sisi lain, kebijakan tax amnesty sejatinya untuk memutihkan kembali wajib pajak dan memasukkan masyarakat yang selama ini belum masuk ke sistem perpajakan.
 
Yustinus mengatakan, selama ini lebih banyak wajib pajak menang dalam pengadilan pajak melawan Ditjen Pajak. Persentasenya mencapai 80%.
"Jadi bisa saja memang kesalahan fiskus," tambahnya. Kekalahan tersebut bisa jadi karena fiskus sengaja membuat bantahan yang lemah di pengadilan sehingga kalah. 
error: Content is protected