Follow Us :

Bisnis.com, JAKART–Hingga sekitar dua bulan jelang tutup tahun, penerimaan pajak nonmigas yang menjadi tanggung jawab Ditjen Pajak masih melempem di kisaran 57% dari target dalam APBNP 2015 Rp1.244,7 triliun.
Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito mengatakan hasil pantauan data real time per 29 Oktober 2015, penerimaan pajak (minus PPh migas) mencapai Rp714,5 triliun atau baru tumbuh sekitar 3,6% dari periode yang sama tahun lalu.

" nonmigasnya ini yang jadi tanggung jawab kami sudah tumbuh. Kalau PPh migas, kita tidak bisa apa-apa kalau harganya sedang rendah. migas sudah pasti jeblok," ujarnya di kawasan DPR akhir pekan ini, seperti dikutip Bisnis.com, Minggu (1/11/2015).

Pada yang sama, penerimaan pos PPh migas hanya tercatat Rp43 triliun, terkontraksi dari capaian periode yang sama tahun lalu Rp67 triliun. Dengan demikian, penerimaan pajak total (termasuk PPh migas) per 29 Oktober tercatat Rp758,27 triliun atau 58,6% dari target.

Dia mengeluhkan masih rendahnya performa target penerimaan pajak itu akibat dari beberapa kebijakan yang batal diterapkan tahun ini seperti pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa jalan tol dan aturan bukti potong atas bunga deposito, serta PPN bea meterai.

Menurutnya, aturan bukti potong atas bunga deposito yang muncul awal tahun ini namun dicabut kembali sebenarnya mampu menyumbang penerimaan hingga Rp152 triliun. Namun, pihaknya mengaku tidak masalah karena dengan adanya keterbukaan informasi data perbankan lewat Automatic Exchange of Information (AEoI) pada akhir 2017 akan menebusnya.

Kendati demikian, pihaknya masih optimistis shortfall selisih antara realisasi dan target penerimaan pajak tahun ini tidak lebih dari Rp150 triliun. Pihaknya mengaku masih bertumpu pada kebijakan reinventing policy dan penegakan hukum seperti tindakan paksa badan (gijzeling).

Selain itu, pihaknya juga menyakini akan ada tambahan penerimaan pajak dari pemberian diskon tarif final atas revaluasi aktiva tetap. Hingga saat ini, lanjutnya, sudah ada perusahaan swasta maupun BUMN yang antusias mendapat fasilitas tersebut.

Sementara itu, terkait kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty), mantan Kepala Kanwil Wajib Pajak Besar ini mengaku tidak akan mengimplementasikannya tahun ini. Pasalnya, dengan masih dibahasnya payung hukum terkait tax amnesty, penerapan paling realistis baru bisa tahun depan.

Sigit mengungkapkan kebijakan tax amnesty itu sudah diperhitungkan dalam upaya pencapaian target penerimaan pajak total sekitar Rp1.350 triliun. Bahkan, jika nantinya DPR tidak punya inisiatif, pemerintah yang mengambil alih dengan inisiatif pemerintah.

"Kalau tidak ada tax amnesty, saya akan minta APBNP. Harus keluar . Pak Presiden sudah OK," jelasnya.

Jika dengan inisiatif pemerintah, pihaknya mengaku akan menjalankan skema tax amnesty untuk penarikan dana yang selama ini terparkir di luar negeri. Terkait tarif, rencana awalnya sebesar 4% pada semester I/2016 dan 6% pada semester II/2016.

Pasalnya, dengan kebijakan ini, akan ada dana sekitar Rp2.000 triliun yang masuk ke Tanah Air. Dengan tarif minimal 3% saja, lanjutnya, sudah penerimaan pajak sekitar Rp60 triliun yang masuk ke kas negara.

Sigit berujar skema pengampunan yang diusulkan Ditjen Pajak hanya mencakup pidana pajak. Sementara pidanan umum di luar pajak menjadi kewenangan aparat penegak hukum lain sehingga butuh kesepakatan lebih luas di tingkat nasional.

Sejalan tidak masuknya unsur pidana di luar pajak, sambungnya, data pajak yang didapat dalam program tax amnesty tidak bisa digunakan untuk bukti pidana umum lainnya. Dengan demikian, wajib pajak (WP) dijamin dari sisi keamanan data.

error: Content is protected