Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo di Jakarta, Rabu (3/2), menyatakan, realisasi Januari 2016 harus diwaspadai pemerintah. Itu karena kebutuhan dana untuk pembiayaan pada 2016 semakin besar. Apalagi pemerintah sudah pralelang pada akhir 2015 sehingga pelaksanaan lelang menjadi lebih cepat. Artinya, pemerintah butuh ketersediaan dana lebih awal dan lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan data yang diperoleh Kompas, penerimaan pajak sampai dengan 28 Januari adalah Rp 62,25 triliun atau 8,83 persen di bawah realisasi Januari 2015. Dari 18 jenis pajak, hampir semuanya turun. Hanya empat jenis pajak yang meningkat.
Penurunan terbesar terjadi pada Pajak Penghasilan (PPh) minya dan gas bumi, dari Rp 4,99 triliun (Januari 2015) menjadi Rp 2,79 triliun (Januari 2016). Artinya, anjloknya mencapai Rp 2,18 triliun atau 43,94 persen.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri juga mengalami kondisi serupa, turun dari Rp 15,9 triliun menjadi Rp 14,69 triliun. Dengan kata lain, anjloknya mencapai Rp 1,2 triliun atau 7,58 persen.
Padahal, dalam pembagian target, secara tradisi, PPN selalu mendapatkan bagian terbesar daripada jenis pajak lain. Pada tahun ini, targetnya Rp 325,87 triliun atau naik 16,46 persen dibandingkan dengan target 2015.
PPh badan juga setali tiga uang. Per Januari 2016, realisasinya adalah Rp 7,51 triliun atau turun 2,79 persen dari Januari 2015. PPh badan secara tradisi selalu mendapatkan bagian target terbesar kedua setelah PPN dalam negeri.
Bahkan, pada tahun ini, kenaikan targetnya terbesar dibandingkan dengan jenis pajak lain, yakni 64,07 persen dari target 2015 atau Rp 302,89 triliun.
Naik
Sementara empat jenis pajak yang realisasinya per Januari naik adalah PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) dalam negeri, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)/PPnBM lainnya. Dari sisi target, nilainya kecil daripada jenis pajak yang lain.
Rendahnya penerimaan pajak per Januari 2016, menurut Yustinus Prastowo, bisa jadi karena perekonomian masih melambat. Namun hal itu tak bisa dibiarkan menjadi tren yang berlanjut pada bulan-bulan berikutnya sebagaimana terjadi pada 2015.
Pada 2015, hampir semua penerimaan bulanan lebih rendah daripada realisasi bulanan 2014. Hanya September dan Desember yang lebih tinggi. Mengingat mayoritas penerimaan negara disumbang pajak, tren tersebut menyebabkan total pendapatan negara pada akhir tahun hanya 1.504,5 triliun atau 85,4 persen target. Defisit fiskal pun melebar, dari target 1,9 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 2,56 persen terhadap PDB.
"Kerja cepat harus segera dilakukan. Dan ini diawali dengan adanya Dirjen Pajak definitif. Dirjen Pajak definitif penting untuk segera melakukan konsolidasi dan koordinasi, termasuk di dalamnya adalah merumuskan langkah-langkah strategis pemungutan pajak," kata Yustinus Prastowo.
Mengerjakan program
Secara terpisah, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Mekar Satria Utama enggan berkomentar tentang penerimaan Januari 2016.
Hal yang terpenting, menurut dia, adalah DJP mengerjakan program kerjanya seoptimal mungkin.
"Kita tetap akan meneruskan upaya-upaya yang sudah ada sebelumnya supaya target bisa tercapai maksimal. Program kerja sudah ada. Yang bisa dikerjakan, kami kerjakan," kata Mekar.
Dirjen definitif
Meski demikian, Mekar menambahkan, semua pegawai DJP juga menunggu penetapan Direktur Jenderal Pajak definitif. Hal ini penting untuk memastikan langkah DJP ke depan.
Saat ini, DJP masih dipimpin Pelaksana Tugas Dirjen Pajak. Secara normatif, Dirjen Pajak definitif ditetapkan Menteri Keuangan.
Akan tetapi, adalah presiden yang pada akhirnya menentukan. Oleh karena itu, Menteri Keuangan menyodorkan nama kandidat ke presiden.
"Harapan kami, Dirjen Pajak definitif bisa segera ditetapkan supaya program kerja menjadi jelas dan kami bisa segera fokus dan melaksanakannya," kata Mekar.