Hal tersebut diungkapkan oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa pada saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (26/4) malam.
Hatta mengatakan pemerintah sanggup untuk mendorong penerimaan dari sisi perpajakan. Antara lain adalah dari penerimaan pajak sebesar Rp7 triliun, penerimaan Bea dan Cukai sebesar Rp0,8 triliun, dan penerimaan PPh Migas sebesar Rp1,2 triliun.
"Optimalisasi dan tambahan masuk melalui usaha ekstra Rp2,3 triliun, penerimaan cukai yang berasal dari minuman mengandung etil alkohol sebesar Rp1 triliun, dan pajak ditanggung pemerintah sebesar Rp2,1 triliun," ujar dia.
Kepastian tersebut didapatkan dengan asumsi makro pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8 persen, inflasi 5,3 persen, rupiah 9.300 per dolar AS, ICP US$80 per barel, dan lifting minyak 965 ribu barel per tahun.
Penerimaan yang berasal dari pajak ditanggung pemerintah adalah berasal dari tunggakan pajak PPN bank syariah dan tunggakan pajak BUMN yang tidak mampu membayarnya.
Jadi, secara total, penerimaan dari sisi perpajakan akan menjadi Rp744,3 triliun dari posisi semula pada RAPBNP 2010 yang diajukan pemerintah kepada DPR RI sebesar Rp733,2 triliun. Untuk itu, rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 11,9 persen dari posisi semula 11,7 persen.
Hal ini masih dibawah permintaan DPR yang menuntut rasio pajak sebesar 13,5 persen. Namun, Hatta mengatakan, pendapatan ini dapat tergerus jika asumsi rupiah berubah dari asumsi yang disepakati Komisi XI yaitu 9300 per dolar AS menjadi 9200 per dolar AS. Padahal, Panitia Kerja Badan Anggaran telah menyepakati nilai tukar rupiah menjadi 9200 per dolar AS.
Sayangnya, Hatta enggan menyebutkan potensi penggerusan bila asumsi nilai tukar rupiah disepakati menjadi 9200 per dolar AS. "Yang jelas tidak akan terlalu besar. Memang akan mengurangi 0,5 sampai sekian. Nanti dari sisi pajak akan tergerus. Cuma kita lihat hal-hal yang berkenaan dengan trade (ekspor impor)," jelas dia.