JAKARTA. Pemerintah berwacana untuk menerapkan tarif pajak penghasilan (PPh) pribadi dan badan dengan menyesuaikan kondisi ekonomi daerah. Jika pertumbuhan ekonomi daerah terbilang rendah, maka tarif PPh badan lebih rendah daerah lain yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.
Saat ini tarif PPh badan berlaku secara nasional sebesar 25%. Alhasil, jika rencana ini benar diterapkan, daerah yang memiliki perekonomian rendah di kawasan timur Indonesia seperti NTT dan Papua, maka tarif PPh badan di sana di bawah 25%.
Begitu pun tarif PPh pribadi yang saat ini berlaku mulai 5% hingga 30% tergantung besaran penghasilan per tahun. Tarif tersebut lebih rendah bagi masyarakat yang tinggal di daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi rendah.
Wacana ini dibenarkan oleh Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito, saat bertemu KONTAN, pekan ini (24/11). Menurut Sigit, wacana ini sempat mengemuka pada saat pemerintah menyusun paket kebijakan kelima beberapa waktu lalu. Usul ini datang dari salah seorang anggota kabinet alias menteri di bidang ekonomi.
Atas wacana ini pemerintah, khususnya kementerian keuangan menilai usulan ini sulit diterapkan. Sebab, penerapan tarif pajak yang berbeda di setiap daerah tidak akan efektif meningkatkan penerimaan pajak.
Alasan lain, meskipun tarif pajak di daerah diturunkan, tidak berarti para investor akan berbondong-bondong berinvestasi di daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi rendah. Sebab masalah utama yang menjadi perhatian investor adalah infrastruktur. "Mengapa investor lebih banyak ada di Jawa, karena infrastrukturnya lebih baik," tutur Sigit.
Usulan ini muncul karena di dalam UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), disebutkan pajak harus bersifat adil. Namun jika usulan ini diterima, pemerintah harus mengubah berbagai undang-undang. Antara lain UU KUP dan UU Pajak Penghasilan (PPh).
Guna meningkatkan penerimaan pajak sekaligus memenuhi asas keadilan, pemerintah kini berkonsentrasi menerapkan tarif pajak yang relatif sejajar dibandingkan dengan negara lain. Cara ini agar para wajib pajak Indonesia tidak menyimpan dana di luar negeri. "Sekarang kenapa dana pada diparkir di Singapura, karena di sana tarif cuma 17%, kita tarif 25%," kata Sigit.
Menurut Sigit, lebih baik pemerintah menurunkan tarif pajak badan dalam rangka kompetisi dengan negara lain agar dana Warga Negara Indonesia tidak diparkir di luar negeri. "Kalau tarifnya berbeda antar daerah, harus dilihat dulu, apakah iya itu jadi kendala bagi pengusaha. Jangan terlalu cepat lari ke pajak," kata Sigit.
Saat ini pemerintah memang gencar menurunkan tarif pajak, bahkan bisa dikatakan mengobral tarif pajak. Antara lain rencana penurunan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 20% atau 18%. Selain itu penurunan tarif PPh pribadi. Perubahan tarif ini masih dalam kajian.
Namun yang sedang dibahas intensif dan berlaku tahun depan ialah obral tax amnesty bagi wajib pajak Indonesia di luar dan di dalam negeri. Juga obral pajak revaluasi aset dengan tarif 3% hingga 6%.