Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan rencana pembatalan itu di Balai Kota Jakarta, Kamis (9/7). Pilihan itu terbuka seiring munculnya catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menilai pembelian lahan di sekitar Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta Barat menyalahi aturan dan berpotensi kelebihan bayar Rp 191 miliar.
"Kami batalkan karena mana bisa melawan BPK," ujarnya.
Basuki membenarkan bahwa pembelian lahan pada tahun 2014 tidak melalui metode harga taksiran (appraisal) sebagaimana peraturan. Namun, harga yang dibayarkan Pemprov DKI sesuai nilai jual obyek pajak (NJOP) yang lebih rendah dari harga taksiran.
"Saya protes ke BPK karena mereka melihatnya secara prosedural, bukan substansi pembelian yang sebenarnya menguntungkan karena harga lebih rendah dari taksiran," ujarnya.
Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah DKI Jakarta Heru Budi Hartono menilai, pembelian lagi lahan RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI menghadapi kendala harga yang saat ini dipastikan lebih mahal.
"Kami hanya berharap pihak RS Sumber Waras bersedia bekerja sama untuk mengembalikan uang pembelian," ujarnya.
Direktur Umum RS Sumber Waras Abraham menyebutkan, penjualan tanah seluas 3,64 hektar ke Pemprov DKI Jakarta sudah sesuai dengan harga NJOP pada 2014, yakni Rp 20,7 juta per meter persegi. Total harga jual tanah senilai Rp 755,6 miliar. Akta pembelian tanah ditandatangani pada 17 Desember 2014. Lahan itu direncanakan untuk dibangun menjadi rumah sakit khusus kanker dan penyakit kronis.
Di atas tanah di pinggir Jalan Kyai Tapa itu kini masih berdiri beberapa bangunan, yaitu ruang perawatan VIP, asrama suster, dan ruang perawatan bagi pasien yang bernilai Rp 25 miliar.
"Kami justru merelakan Rp 25 miliar itu tidak dibayar oleh Pemprov DKI. Selain itu, kami menanggung biaya notaris Rp 3,6 miliar untuk mengurus jual-beli tanah itu," ujar Abraham.
Penunjukan lahan
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Internasional BPK Yudi Ramdan Budiman menyebutkan, tim BPK menyoroti proses pembeliannya, bukan soal NJOP. "Kami fokus pada penunjukan lokasi tanah yang tidak sesuai ketentuan serta disposisi plt (pelaksana tugas) gubernur kepada Bappeda (Badan Perencana Pembangunan Daerah) yang tidak sesuai ketentuan," kata Yudi.
Yudi enggan merinci temuan mengenai pembelian tanah itu. Pihaknya masih menunggu penjelasan resmi dari Pemprov DKI sebelum memublikasikannya.
Terkait penilaian BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemprov DKI 2014, Heru menilai ada kejanggalan. Pertanyaan BPK tentang pengelolaan keuangan sudah diklarifikasi, tetapi masih tercantum dalam LHP.
"Misalnya, di salah satu unit kerja sekretariat dinyatakan tidak ada surat pertanggungjawaban atas pengeluaran dana. Setelah kami klarifikasi, surat itu sudah dibuat dan diberikan kepada BPK. Ketika diperiksa, surat itu dikatakan tidak ada. Unit terkait lalu mengirimkan lagi berkasnya ke BPK. Ternyata dalam LHP masih disebutkan tidak ada surat pertanggungjawaban," ujar Heru.
Contoh lain adalah poin pemeriksaan BPK yang menyebutkan pencatatan belanja barang dan jasa pada 15 satuan kerja perangkat daerah senilai Rp 268 miliar tidak didukung bukti pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan. Klarifikasi sudah dilakukan, tetapi disebut tidak ada pertanggungjawaban.
Heru juga mempertanyakan pernyataan BPK saat rapat paripurna DPRD untuk penyerahan LHP pada Senin (6/7) yang menyebutkan ada tiga blok apartemen sebagai bentuk penyertaan modal pemerintah (PMP) kepada PT Transportasi Jakarta. Menurut dia, tidak ada apartemen yang diberikan kepada PT Transportasi Jakarta sebagai PMP.
Pemprov DKI Jakarta kini memiliki waktu 60 hari untuk menjawab hasil pemeriksaan BPK. Mau tidak mau, kata Heru, Pemprov DKI akan mengirimkan lagi berkas-berkas yang diminta BPK.