Direktur Peraturan Perpajakan II Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) Yunirwansyah mengatakan, pebisnis e-commerce akan dikenai pajak penghasilan (PPh) dengan tarif final, seperti yang berlaku bagi usaha kecil menengah (UKM). Saat ini, tarif PPh final adalah 1% dari omzet untuk UKM dengan omzet maksimal Rp 4,8 miliar per tahun. Bersamaan dengan penerapan aturan pajak e-commerce, tarif PPh final tersebut akan diturunkan menjadi 0,5% dari omzet per tahun.
Walau penurunan tarif tersebut akan menurunkan pendapatan negara dari pajak, harapannya penurunan hasil perolehan pajak bisa digantikan oleh peningkatan jumlah wajib pajak (WP) UKM yang membayar pajak.
Agar penurunan penerimaan negara dari pajak tidak terlalu besar, menurut Yunirwansyah, pemerintah akan menurunkan batasan omzet UKM dari saat ini Rp 4,8 miliar per tahun. Namun Yunirwansyah mengaku, belum ada kejelasan berapa penurunan batasan omzet untuk UKM yang akan ditetapkan.
Selain itu, penurunan tarif PPh final 0,5% tidak akan berlaku selamanya. "Kami memberikan periode tertentu. Misalnya, sampai dengan X maka tahun ke Y-nya dia sudah kena tarif normal lagi. Itu sedang kami kaji," jelas Yunirwansyah kepada KONTAN, Kamis (25/1).
PPh final juga hanya berlaku untuk wajib pajak orang pribadi. Sebab, "Kami anggap wajib badan itu sudah bisa melakukan pembukuan," tambah Yunirwansyah
Tanpa data
Selain PPh, pemerintah juga akan memungut pajak pertambahan nilai (PPN) di setiap transaksi e-commerce. Pemerintah beralasan, hal ini untuk asas keadilan, karena di bisnis offline sudah dipungut PPN sebesar 10%.
Tarif PPN e-commerce akan disamakan dengan di toko offline. Yang masih membingungkan pemerintah adalah cara pemungutan PPN.
Pemerintah berencana menetapkan setiap pebisnis jual beli online sebagai pengusaha kena pajak (PKP) sehingga harus memungut PPN di setiap penjualan. Lalu, PPN itu dikumpulkan melalui market-place, tempat transaksi jual beli terjadi. Pemilik market-place yang menyetorkan seluruh PPN ke kantor pajak.
Namun, skema ini tidak bisa terlaksana di semua market-place. Pasalnya beberapa marketplace tidak melayani transaksi jual beli. Seperti OLX, di mana transaksi antara penjual dan pembeli tanpa melibatkan platform-nya.
Peneliti Perpajakan Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako menilai pengaturan perpajakan e-commerce bakal sulit terlaksana dalam waktu dekat. Soalnya pemerintah belum memiliki data mumpuni. "Pengenaan pajak seharusnya berdasarkan jenis barang, tidak bisa disamaratakan. Namun bagaimana mau bicara tarif pajak, jika pemerintah belum memiliki data barang yang dijual apa saja, yang laku berapa, stoknya berapa," katanya.