Follow Us :

JAKARTA– Kepala daerah diimbau tidak mengenakan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) di atas 5% karena ketentuan itu akan membebani rakyat.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menjelaskan, Peraturan Presiden (Perpres) No 36/2011 tentang Perubahan Atas TarifPBBKBakanberakhir pada 15 September mendatang. Perpres No 36/2011 menyatakan, tarif PBBKB yang telah ditetapkan daerah melalui peraturan daerah (perda) diubah menjadi 5%. Perpres tersebut diterbitkan untuk membatasi PBBKB seperti yang tertulis dalam Undang-Undang No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Setelah 15 September atau masa berlaku perpres berakhir, pemerintah daerah (pemda) diberi kewenangan untuk menetapkan tarif PBBKB maksimal 10% sesuai UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).Kewenangan daerah tersebut akan dituangkan dalam perda masing-masing daerah.

“Tadi saya membuat surat kepada seluruh gubernur supaya minta pengertiannya walaupun UU ini memungkinkan untuk membuat pajak itu lebih dari 5%, tapi tolong jangan dimanfaatkan karena ini akan membebani masyarakat,”tutur Gamawan sebelum menghadiri rapat di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta,kemarin. Gamawan menambahkan, beberapa pemerintah daerah (pemda) sudah ada yang membuat perda sebagai aturan pelaksana UU No 28/2009. Beberapa pemda menetapkan PBBKB sangat tinggi di atas 5%.

“Saya hitung ada 20 daerah itu provinsi di atas 5% pajaknya. Dari jumlah itu ada enam provinsi yang pajaknya 10%, lalu empat daerah itu (pajaknya) 7,5% dan sisanya 5%,”ujar dia. Sebagai catatan, PBBKB adalah pajak atas semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor. Pengenaan PBBKB diberlakukan untuk setiap liter bahan bakar yang dikonsumsi masyarakat.

Bila pemda memberlakukan UU No 28/2009 maka bisa jadi masingmasing daerah akan menetapkan harga bahan bakar yang berbeda tergantung pajak yang diberlakukan.Perbedaan harga bahan bakar tersebut dimaksudkan untuk mengurangi konsumsi BBM yang pada akhirnya diharapkan bisa mengurangi besaran belanja subsidi.

PBBKB bisa diterapkan melalui dua skenario yakni includedatau excluded.Pengenaan included pajak dimasukkan dalam perhitungan harga sebelum pajak.Pengenaan pajak ini memberlakukan harga jual BBM seperti saat ini (Rp4.500 per liter) yang sudah termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% dan PBBKB 5%. Artinya,semakin besar subsidi PBBKB maka semakin besar anggaran pemerintah pusat untuk menutup PBBKB di masing-masing daerah.

Skenario kedua adalah excluded atau pemberlakuan harga BBM sebelum dikenai PBBKB. Dengan demikian, semakin besar PBBKB maka semakin besar pula harga yang harus dibayar masyarakat untuk membeli BBM karena ada pajak yang lebih besar di sana. Skenario excluded ini sudah diterapkan di negara Amerika Serikat, di mana masing-masing negara bagian memberlakukan harga BBM yang berbeda. Namun, skenario included PBBKB juga disorot Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam rapat terbatas di Kantor Kementerian Keuangan Jumat lalu(27/7), presiden mengimbau kepada daerah untuk tidak memberlakukan PBBKB di atas 5% karena itu bisa membebani APBN.“Ada beberapa daerah dan provinsi yang masih memberlakukan PBBKB di atas 5%,padahal maksimal 5% akibatnya anggaran membengkak dan subsidi membengkak. Ini perlu ditertibkan,” tandas Presiden saat itu.

error: Content is protected