Tahun 2014, realisasi penerimaan pajak-di luar pajak minyak dan gas bumi-mencapai Rp 981,9 triliun. Jumlah itu sekitar 91,5 persen dari target yang sebesar Rp 1.072 triliun.
Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menjawab pertanyaan Kompas, di Jakarta, Senin (30/11), menyatakan, penerimaan pajak hingga akhir 2015 diproyeksikan 85-87 persen dari target. Dengan asumsi realisasi belanja negara 92 persen, defisit APBN Perubahan 2015 berkisar 2,5-2,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Penghitungan itu di luar skenario program pengampunan pajak. Pemerintah dan DPR dalam waktu dekat akan membahas Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak, yang ditargetkan tuntas pada 18 Desember 2015 sehingga program itu bisa dilakukan pada akhir tahun ini.
Saat ditanya mengenai skenario pemotongan belanja anggaran jika penerimaan pajak di bawah proyeksi, Bambang hanya menjawab, Kementerian Keuangan akan melakukan pengelolaan aliran uang tunai.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo memperkirakan, penerimaan pajak hingga akhir tahun sekitar 77 persen dari target. Namun, kondisi ini tidak bisa serta-merta menjadi alasan pelaksanaan program pengampunan pajak mulai akhir 2015.
Menurut Prastowo, stagnasi penerimaan pajak disebabkan berbagai faktor yang kompleks, antara lain pelambatan pertumbuhan ekonomi, persoalan kelembagaan, regulasi, tingkat kepatuhan, dan dinamika perpajakan internasional.
"Tren pencapaian sepanjang 2015 cenderung turun dibandingkan dengan 2014. Ini sinyal bahwa kita membutuhkan kebijakan reformasi perpajakan yang komprehensif, bukan solusi jangka pendek yang reaktif seperti pengampunan pajak," kata Prastowo.
Reformasi
Kebijakan reformasi perpajakan itu mencakup pembenahan kebijakan, regulasi, dan administrasi. "Pengampunan pajak dalam konteks problematik ini hanya salah satu kemungkinan solusi yang tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan erat dan saling memengaruhi dengan faktor lain," kata Prastowo.
Sementara itu, DPR dan pemerintah segera membahas RUU tentang Pengampunan Pajak. Hal ini dipastikan setelah Badan Legislasi (Baleg) DPR serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly sepakat menjadikan RUU Pengampunan Pajak sebagai Prioritas Program Legislasi Nasional 2015 pada rapat kerja, Jumat pekan lalu. Rapat juga menyepakati inisiatif berada di tangan pemerintah.
Yasonna menyebutkan, RUU Pengampunan Pajak strategis dan mendesak untuk dibahas segera. Hal itu terkait dengan kondisi perekonomian Indonesia yang saat ini sedang melambat.
Menurut anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, M Misbakhun, masyarakat yang minta pengampunan pajak pada Januari-Maret 2016 dikenai tarif 2 persen dari harta bersih yang dilaporkan. Untuk periode April-Juni 2016 tarifnya 3 persen, sedangkan Juli-Desember 2016 tarifnya 5 persen.