JAKARTA. Realisasi penerimaan pajak sampai 19 September 2015 masih minim. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menuturkan, sampai periode tersebut penerimaan pajak baru senilai Rp 608,3 triliun. Tanpa memperhitungkan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) migas, angka itu sama dengan 48,9% dari target tahun ini yang nilainya Rp 1.244,7 triliun.
Realisasi penerimaan berasal dari penerimaan rutin Rp 537,65 triliun dan upaya ekstra (extra effort) sebesar Rp 70,65 triliun. Penerimaan dari upaya ekstra ini terdiri dari penerimaan hasil kebijakan penghapusan sanksi atau reinventing policy sebesar Rp 32,9 triliun, ekstensifikasi Rp 10,2 triliun, dan penegakan hukum (law enforcement) sebesar Rp 27,5 triliun.
Merujuk ke data outlook penerimaan pajak dengan perkiraan kekurangan atau shortfall pajak Rp 115,1 triliun (tanpa PPh migas) sebesar Rp 1.129,6 triliun, maka Ditjen Pajak dalam tiga bulan terakhir tahun ini perlu mengumpulkan uang Rp 521,3 triliun.
Untuk itu, Ditjen Pajak, menurut Bambang, telah menyiapkan cara mencapainya. "Dengan segala cara, dengan segala daya upaya," katanya, Selasa (22/9) malam.
Sisa target penerimaan Rp 521,3 triliun, akan diperoleh dari penerimaan rutin sebesar Rp 290,6 triliun. Selain itu, ada penerimaan dari upaya ekstra Ditjen Pajak sebesar Rp 230,7 triliun. Upaya ekstra yang dimaksud adalah imbauan kepada wajib pajak dengan potensi pendapatan Rp 118,6 triliun. Lalu, ekstensifikasi pajak sebesar Rp 20 triliun, pemeriksaan dan penagihan sebesar Rp 29,1 triliun, penyidikan Rp 1 triliun, dan pemungutan wajib pajak besar Rp 62 triliun.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Sigit Priadi Pramudito bilang, masih mengandalkan reinventing policy untuk mengamankan penerimaan tahun ini. Ia menyebut, per akhir Agustus 2015, potensi penerimaan pajak dari reinventing policy sebesar Rp 87 triliun. "Namun baru sebagian yang membayar. Makanya per akhir Agustus baru terkumpul Rp 30 triliun. Mereka baru bayar sebagian. Dan mau melunasi sisanya di akhir tahun," kata Sigit.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, minimnya penerimaan pajak membuat realisasi sampai akhir Agustus lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2014.
Penerimaan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) turun paling tajam sebagai dampak dari pelemahan ekonomi yang terjadi saat ini (lihat tabel).
Di sisi lain lanjut dia, penerimaan dari reinventing policy belum menghasilkan tambahan penerimaan yang signifikan. Oleh sebab itu, ia memproyeksi shortfall penerimaan pajak akan lebih lebar dari perkiraan pemerintah, yaitu Rp 240-Rp 300 triliun.