JAKARTA. Rencana pemerintah mengutip pajak penghasilan (PPh) atas produk investasi kembali mencuat. Lewat revisi Undang-Undang no 36 tahun 2008 tentang PPh, pajak akan mengenakan pajak atas unitlink, reksadana, hingga efek beragun aset (EBA).
Sigit Priadi Pramudito, Direktur Jenderal Pajak saat bertemu KONTAN, pekan lalu mengatakan, pemerintah akan menata ulang cara penarikan pajak atas produk-produk investasi. "Ini demi memberikan kepastian pajak," ujar Sigit.
Dalam revisi UU PPh, Ditjen Pajak akan merinci pengenaan pajak penghasilan, apakah di perusahaan penerbit produk investasi, agen penjual, atau di investor. Penataan penting mengingat hingga saat ini masih terjadi perdebatan antara pemilik produk investasi, nasabah, dengan aparat pajak.
Pro kontra ini pula yang memacu pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) No 100/2013 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi. Keluarnya aturan ini menggugurkan berlakunya pajak bunga obligasi yang menjadi aset dasar reksadana segede 15% yang semula berlaku awal 2014.
Sesuai PP 100/2013 itu, tarif PPh atas penghasilan bunga obligasi tetap 5%. Namun, secara bertahap, pemerintah akan mendongkrak PPh atas penghasilan atas bunga obligasi, dari 10% hingga kelak 15% di 2020.
Adapun di instrumen unitlink juga terjadi tarik ulur. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (Dirjen) No 56/PJ/2015 tentang pencabutan PPh final 15% atas produk asuransi masih membingungkan lantaran tak jelas cakupan pajaknya, apakah di unitlink atau di asuransi jiwa.
Kata Sigit, dalam revisi UU PPh, tarif pajak unitlink, reksadana dan KIK EBA akan seragam. Prinsip Ditjen Pajak, setiap ada keuntungan yang iterima, apakah dari penerimaan dividen atau imbal hasil investasi akan terkena pajak. "Semua penghasilan harus kena pajak," tandas Sigit.
Ditjen Pajak akan mengajak otoritas terkait untuk melakukan pembahasan terkait hal tersebut. Namun, saat ini, pihaknya masih menggodok ketentuan itu di tingkat panitia antar kementerian.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, mengusulkan pemerintah memungut PPh melalui mekanisme with holding, yakni pungutan pajak di setiap rantai transaksi, tetapi dengan tarif yang minim.
Misal, tarifnya 0,5% di setiap transaksi. Nanti, pajak ini bisa dikreditkan. Jika ada kelebihan pungutan di akhir tahun, pembayaran pajak akan dikembalikan. Ini bisa menjadi sarana edukasi bagi masyarakat untuk tertib administrasi.
Ronny Bako, Pengamat Perpajakan Universitas Pelita Harapan (UPH) mendukung rencana ini. Sebab pajak atas penghasilan tidak rutin seperti hasil menjual aset berupa investasi selama ini belum diatur tegas di tingkat UU.
"Di Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ini tidak diatur, tetapi diserahkan kepada kebijakan pemerintah," ujar Ronny.