Follow Us :

JAKARTA. Pemerintah mengkhawatirkan cadangan devisa (cadev) yang  terus  tergerus. Hingga pekan kedua September saja, posisi cadev tinggal US$  103 miliar,  bandingkan dengan posisi per akhir Agus-tus 2015 lalu yang masih sebesar US$ 105 miliar.
Oleh sebab itu pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas  Jasa Keuangan (OJK)  tengah memutar otak mencari sumber penerimaan negara. Salah satunya dengan mendorong peran ekspor sebagai sumber devisa.
Kemarin, Selasa (22/9) Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memanggil Gubernur BI Agus Martowardojo, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad, dan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro untuk membahas  hal  tersebut  di kantor Wakil Presiden.
Hasilnya, untuk mendorong cadangan devisa, pemerintah, BI dan OJK akan memberikan insentif bagi pengusaha yang menyimpan  dana  hasil  ekspornya lebih lama di perbankan di Indonesia.
Pemerintah akan memberikan diskon atas pajak deposito yang bersumber dari dana hasil ekspor yang disimpan di bank  dalam  negeri  dalam jangka waktu tertentu. Semakin  lama  dana  itu  tinggal di dalam negeri, maka  akan semakin besar potongan pajak yang baka diterima.
Jusuf Kalla tak merinci berapa diskon pajak yang akan diberikan. Saat ini bunga deposito, tabungan  dan diskonto Bank Indonesia dikenakan pajak final sebesar 20%.
 
Yang  jelas, pemberian diskon ini sebagai lanjutan dari aturan kewajiban menyertakan Letter of Credit (L/C) dalam  setiap  aktifitas  ekspor. "L/C diberlakukan supaya hasil ekspor masuk ke perbankan lokal, nah kebijakan yang disusun  ini  supaya  dana  itu menetap  lebih  lama,"  ujar Bambang,  Selasa  (22/9)  di Kantor Wapres, Jakarta.
 
Semakin  lama devisa hasil ekspor menetap di dalam negeri, akan membuat volatilitas nilai  tukar  rupiah  semakin terjaga. Pada akhirnya, pemerintah maupun BI bisa memiliki kekuatan tambahan untuk melakukan  intervensi ketika rupiah melemah.
Bank Indonesia menilai saat ini  posisi  cadangan  devisa masih cukup aman, meski terus  tergerus. Agus mengata-kan, bahkan posisi cadev pernah berada di bawah US$ 100 miliar  tapi  kondisinya  bisa terkendali. Ia juga bilang kondisi ini imbas dari melambatnya perekonomian global.
 
Ekonom Bank Central Asia David Sumual mengingatkan memberikan insentif pajak ini bisa  jadi  solusi  yang  salah. Apalagi  saat  ini  pemerintah tengah dihadapkan ancaman penurunan penerimaan pajak. David menilai  kebijakan  itu dikeluarkan  dalam  kondisi yang  tidak  tepat. Lebih baik pemerintah mendorong pertumbuhan ekspor. Atau, menerbitkan  surat  utang  dan mencari pinjaman murah.
error: Content is protected