JAKARTA: Optimalisasi penerimaan pajak, terutama dari sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), diyakini akan menggenjot tambahan penerimaan pajak hingga Rp170 triliun.
Pengamat Perpajakan Universitas Indonesia Gunadi mengatakan Direktorat Jenderal Pajak harus segera merealisasikan ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan pajak yang telah diwacanakan sebelumnya.
“Kalau aturan pajak UMKM selesai, tambahan pajak idealnya Rp280 triliun, tapi mungkin akan Rp170 triliun, ditambah ekstensifikasi lain,” ujar Gunadi kepada Bisnis, kemarin.
Dia memaparkan kontribusi UMKM minimal sekitar 40% terhadap produk domestik bruto (PDB). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat sebanyak 53.823.732 UMKM dengan kontribusi 57,12% terhadap PDB 2010 atau setara dengan Rp3.466 triliun.
“UMKM itu kelompok yang sulit dipajaki, tapi kalau ada pajak final mungkin bisa lebih antusias membayar,” katanya. Selain pajak UMKM, dia menyebutkan tambahan penerimaan pajak bisa didapat dari intensifikasi penerimaan sektor pertambangan, pengenaan pajak penjualan atas saham pendiri, dan revisi aturan pajak fringe benefit (natura).
Kendati demikian, menurut dia, revisi aturan pajak fringe benefit justru bisa mengurangi penerimaan jika pemerintah tidak jeli memformulasikan klausul perpajakan.
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Hartoyo menuturkan potensi penerimaan pajak UMKM hanya berkontribusi rasio pajak sekitar 0,5%-1%. Kendati demikian, Hartoyo mengaku akan terus berupaya menjaring sentra bisnis yang belum terdaftar melalui mekanisme sensus pajak.
Pengamat Perpajakan Tax Center Universitas Indonesia Darussalam berpendapat penyelesaian aturan pajak UMKM tidak hanya bisa menambah penerimaan pajak, tetapi juga memperluas basis pajak baik objek maupun subjek pajak.
Dia optimistis rasio penerimaan pajak terhadap PDB bisa mencapai di atas 15%, termasuk pajak daerah. Perkiraan ini lebih tinggi dari realisasi rasio saat ini yang masih di kisaran 12,1%. “Saya sarankan penghitungan tax ratio harus memasukkan pajak daerah, sehingga kalau dibandingkan dengan negara lain bisa apple to apple,” katanya.
Peningkatan rasio perpajakan bisa ditunjang melalui upaya optimalisasi survei kuasa pertambangan yang saat ini banyak yang belum terdeteksi. Selain itu, mengoptimalkan penagihan piutang pajak yang belum selesai bayar.
Seperti diketahui, Direktorat Jenderal Pajak tengah mengkaji aturan pajak UMKM.
Pajak alat berat
Sementara itu, pemerintah diimbau menerapkan pungutan pajak alat berat pertambangan secara terpisah dengan objek pajak kendaraan bermotor untuk memberi kepastian hukum yang berkeadilan.
Darussalam mengatakan berdasarkan asas tujuan, pajak kendaraan bermotor dikenakan untuk memberikan kontribusi perbaikan jalan, moda, dan transportasi umum. “Kalau alat berat pertambangan digunakan dalam lahan konsesi, bukan jalan umum, secara esensi tidak tepat kalau masuk pajak kendaraan,” ujar Darussalam dalam seminar Menata Sistem Perpajakan yang Berkeadilan.
Menurutnya, ciri khas pajak daerah adalah memiliki unsur manfaat secara langsung dari pemungutan pajak tertentu. Dilihat dari ciri itu, lanjutnya, alat berat pertambangan tidak mendapat manfaat langsung dari penggunaan pajak.
Untuk itu, dia menyarankan pemerintah dengan membuat aturan baru terkait dengan pungutan pajak atas alat berat secara terpisah sehingga tidak menimbulkan kerancuan aturan yang bertabrakan dengan asas pajak.
Apabila pemerintah daerah menganggap keberadaan perusahaan pertambangan merusak lingkungan, lanjutnya, eksekutif bisa saja mengambil kebijakan pemungutan pajak atas lingkungan. Akan tetapi, tuturnya, pajak pengrusakan lingkungan semacam itu harus didelegasikan ke pemerintah pusat.
Pernyataan ini menanggapi upaya judicial review sejumlah pengusaha atas UU No.28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Para pengusaha pertambangan merasa keberatan dengan pemungutan pajak alat berat yang diberlakukan sejak 2009.
Sekretaris Dewan Pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia Herry Johanes menuturkan pembebanan pajak bahan bakar kendaraan bermotor sudah menerapkan tarif cukup tinggi sekitar 5%. Anggota Apindo, menurut dia, merasa terjadi banyak duplikasi pajak bagi kendaraan alat berat akibat peraturan pajak tersebut.
Senada dengan Darussalam, Ketua Umum Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (ASPINDO) Tjahyono Imawan berpendapat pihaknya setuju dengan penerapan aturan pajak asalkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.