Selama ini sudah banyak kesepakatan antaraparat penegak hukum dan aturan antikorupsi, namun berbagai kasus korupsi masih terus terjadi. “Tidak saja memonitor (10 area rawan korupsi), kalau cuma monitor di undang-undang, sudah banyak aturannya.Yang penting implementasinya, publik sering dikecewakan aparat hukum,” ungkapnya saat dihubungi kemarin.
Dari 10 area yang menjadi kesepakatan pengawasan oleh ketiga lembaga penegak hukum itu,menurut Oce, area paling rawan adalah sektor penerimaan dan sektor pengeluaran negara.Kedua area ini bahkan bisa menjadi indikator keberhasilan program pemberantasan korupsi. Jika korupsi pada sektor penerimaan negara masih tinggi, program pemberantasan korupsi nasional bisa dikatakan belum berhasil.
Pembuktian paling dekat atas nota kesepahaman ini,menurut Oce, adalah pengungkapan dugaan mafia pajak yang dilakukan seorang pegawai Ditjen Pajak Dhana Widyatmika. Jika kejaksaan berkomitmen serius,kejaksaan seharusnya bekerja keras membongkar pihak-pihak yang terlibat, termasuk atasan dan perusahaan yang diuntungkan DW.
Sebelumnya diberitakan bahwa Polri, Kejagung, dan KPK sepakat mengawasi 10 area rawan korupsi terkait program optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi. Area rawan korupsi yang dimaksud adalah Sektor Pengadaan Barang dan Jasa, Sektor Keuangan dan Perbankan, Sektor Pajak,Sektor Bea Cukai,Sektor BUMN/BUMD, Sektor Pendapatan/ Penerimaan Negara,Sektor Penggunaan APBN/ APBD, Sektor Aset/Barang Milik Negara/ Daerah, Sektor Pelayanan Umum,dan sektor instansi/lembaga dengan alokasi anggaran besar.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, implementasi kesepakatan ini bisa diupayakan dengan melakukan supervisi oleh KPK atas penanganan kasus-kasus yang belum tuntas oleh kepolisian dan kejaksaan.