"Saya optimistis karena itu bukan kebutuhan pemerintah lagi, melainkan kebutuhan pembayar pajak. Lebih baik dapat pengampunan sekarang daripada kena tarif normal pada tahun 2018," kata Bambang menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Selasa (1/3).
Program pengampunan pajak, menurut Bambang, menawarkan skema tebusan sebesar 2-6 persen dari harta yang dilaporkan. Sementara pada situasi normal, tarif berikut sanksi yang harus dibayarkan mencapai 48 persen dari aset yang dilaporkan.
Pemerintah akan memiliki akses terhadap sejumlah informasi dari sejumlah negara untuk mengejar pengemplang pajak mulai September 2017. Informasi itu misalnya adalah keuntungan bisnis, dividen, bunga, pensiun, dan gaji pegawai.
Platform untuk mengakses informasi antarnegara itu adalah Pertukaran Informasi secara Otomatis yang menjadi komitmen 126 negara yang tergabung dalam Forum Global yang diinisiasi OECD. Indonesia menjadi satu dari 61 negara yang berkomitmen untuk melakukan pertukaran informasi secara otomatis per September 2017. Negara lain mulai awal 2018.
Penerapannya tentu perlu sejumlah langkah lanjutan oleh setiap negara ataupun secara bilateral. Namun, setidaknya gelombang keterbukaan informasi sudah dimulai.
Bambang menyatakan, tidak masalah jika pelaksanaan pengampunan pajak tertunda dari rencana semula, yakni awal 2016. Terpenting adalah program itu berlaku tahun ini.
"Yang paling penting adalah tiga bulan pertama (pelaksanaannya). Saya sebenarnya hanya perlu tiga bulan," kata Bambang.
Saat ditanya jumlah potensi penerimaannya, Bambang enggan menjawab. Ia hanya menyebutkan penerimaannya bakal di atas Rp 60 triliun.
Jika skenario program pengampunan pajak akhirnya berjalan lancar tahun ini, Bambang melanjutkan, pemotongan anggaran bisa diminimalkan. Namun, jika program tidak jadi, pemerintah akan memotong anggaran belanja dan menambah utang sampai defisit yang masuk akal dan aman.
Dengan risiko kapasitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tak sebesar rencana awal, Bambang menekankan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bisa mencapai target 5,3 persen pada tahun ini.
"APBN bukan satu-satunya instrumen pertumbuhan ekonomi. Kita dorong investasi swasta. Kita dorong pembiayaan infrastruktur di luar APBN," katanya.
Skema tebusan
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi juga menyatakan optimistis Dewan Perwakilan Rakyat akan mendukung program pengampunan pajak. Soal substansi seperti skema uang tebusan, ia menyerahkan pada pembahasan antara pemerintah dan DPR.
"Saya optimistis jalan. Ini kepentingan semua pihak. Bukan pemerintah saja," kata Ken.
Ken merupakan Dirjen Pajak baru. Ia dipilih oleh Menteri Keuangan dengan persetujuan Presiden Joko Widodo. Upacara pelantikan dilaksanakan Selasa kemarin.
Sebelumnya Ken merupakan Pelaksana Tugas Dirjen Pajak selama tiga bulan terakhir. Ia menggantikan Sigit Priadi Pramudito sebagai Dirjen Pajak yang mengundurkan diri per 2 Desember 2015 karena alasan tak mencapai target.
Sejak awal, pria kelahiran Malang, 8 November 1957, tersebut meniti karier birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak. Terakhir, ia menjabat sebagai Kepala Kantor Pelayanan Pajak Wilayah Jawa Timur sebelum ditugaskan sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak.
Pendapatan menjadi risiko terbesar APBN 2016. Kementerian Keuangan memperkirakan penerimaan negara akan kurang Rp 290 triliun dari target senilai Rp 1.822,5 triliun.
Setelah pelantikan Dirjen Pajak, Kementerian Keuangan juga menggelar restrukturisasi organisasi Ditjen Pajak. Tujuannya adalah meningkatkan kapasitas organisasi dalam menghadapi tantangan administrasi perpajakan domestik dan internasional sekaligus menyiapkan pembentukan kelembagaan baru Ditjen Pajak.
Restrukturisasi berupa pembentukan dua eselon II baru, yakni Direktorat Perpajakan Internasional dan Direktorat Intelijen Perpajakan. Saat ini jumlah pegawai Ditjen Pajak mencapai lebih dari 32.000 orang.