Follow Us :

Belum lama ini, di hadapan anggota DPR di Senayan, Menkeu Agus D.W. Martowardojo berbicara tentang rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB). Sebuah gambaran tentang apa yang sudah dicapai selama ini di bidang perpajakan.

Kalau penerimaan pajak dihitung dengan memasukkan tiga komponen berikut, yaitu penerimaan pajak pusat, pajak daerah dan pajak sumber daya alam (SDA), maka rasio penerimaan terhadap PDB pada tahun lalu mencapai 15,8%.

Pencapaian pada level ini memperlihatkan tax ratio di Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan rata-rata negara Asean yang berada pada kisaran 15%-17%.

Perlu diperhatikan, realisasi penerimaan pajak pusat pada 2011 sebesar Rp 873,36 triliun, pajak daerah Rp 62,08 triliun, sementara realisasi penerimaan dari SDA sebesar Rp 214,04 triliun.

Adapun tingkat PDB pada 2011 tercatat sebesar Rp 7.427,10 triliun. Berdasarkan nilai PDB itu, kalau hanya memperhitungkan faktor realisasi penerimaan pajak nasional, tax ratio kita hanya berada pada level 11,76%.

Tax ratio pada level ini memperlihatkan realisasi penerimaan pajak yang belum optimal. Sebagai perbandingan, rata-rata tax ratio untuk kawasan Asia adalah sekitar 17%-21%, sementara untuk negara maju berada di atas 40%.

Itu sebabnya kita sepakat dan mendorong pemerintah untuk terus menggenjot realisasi penerimaan pajak.

Salah satu yang akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam waktu dekat adalah mengenakan pajak sebesar 2,5% terhadap keuntungan (capital gain) dari transaksi penjualan saham emiten yang dimiliki pemegang saham pendiri, yang sebelumnya hanya dikenakan 0,5%. Bahkan, sebelumnya pemerintah sempat berencana untuk menetapkan tarif hingga 5%.

Pajak tersebut dikenakan ketika transaksi berlangsung pada basis capital gain (kenaikan harga) saham dari pemilik saham pendiri, bukan terhadap pemilik portofolio.

Saat ini, Ditjen Pajak masih mempersiapkan rencana tersebut, yang nantinya tertuang dalam bentuk peraturan pemerintah (PP). Sebelumnya, pengenaan pajak ini mengacu pada PP No. 14/1997 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek.

Rencana pengenaan tarif pajak tersebut memunculkan reaksi negatif di sebagian kalangan pelaku pasar modal karena dikhawatirkan bisa menekan minat perusahaan untuk melakukan penawaran perdana (initial public offering).

Kekhawatiran itu didasarkan pada pertimbangan bahwa dana penjualan saham tersebut dilakukan untuk pengembangan korporasi, bukan untuk kepentingan pribadi.

Karena itu, muncul usulan berupa pengaturan jadwal pembayaran. Misalnya diatur agar pembayaran dilakukan setelah 2 atau 3 tahun atau setelah 8 bulan lock up dan emiten bisa menjual  lagi saham.

Terkait dengan pengenaan pajak baru ini, Ditjen Pajak bersama Bapepam-LK dan manajemen Bursa Efek Indonesia perlu berdiskusi untuk mendengar suara pelaku pasar, kemudian melakukan sosialisasi dan mengatur pelaksanaan secara detail agar penerapan tarif ini tidak menjadi disinsentif bagi pasar modal.

Di atas semuanya itu, diharapkan agar pemungutannya dilakukan secara transparan  dan dilakukan oleh petugas yang tidak koruptif. Dengan demikian para wajib pajak akan melaksanakan tugasnya dengan suka cita sebagai partisipasi dalam pembangunan di negeri ini.

error: Content is protected