Follow Us :

JAKARTA, KOMPAS.com – Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi Yudi Kristiana menyebut upaya KPK menangani kasus pajak yang menyeret mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo "layu sebelum berkembang". Belum selesai penyidikan dilakukan, sudah disandung oleh putusan praperadilan yang menyatakan penetapan Hadi sebagai tersangka tidak sah.

"Nampaknya upaya yang kita lakukan layu sebelum berkembang. Baru pelan-pelan diusut, langsung praperadilan," ujar Yudi di Gedung KPK, Jakarta, Senin (29/6/2015).

Yudi mengatakan, kerugian negara adalah uang yang seharusnya masuk ke kas negara. Menurut Yudi, jumlah kerugian negara akibat korupsi berpotensi lebih besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, seperti korupsi di sektor pajak. Untuk itu, kata dia, KPK perlu mengambil konsekuensi besar dalam menyelamatkan kerugian negara tersebut.

"Karena konsekuensinya besar, potensi uang yang bisa diselamatkan menjadi besar juga," kata Yudi.

Menurut Yudi, kerugian negara dalam kasus Hadi berdasarkan audit investigasi sebesar Rp 375 miliar. Namun, saat penyidikan dilakukan, potensi kerugian negaranya mencapai Rp 2,5 triliun.

"Itu kan banyak. Baru di sektor pajak, belum lagi sektor lainnya," kata Yudi.

Yudi menyatakan, hal tersebut menjadi tantangan KPK menuntaskan kasus Hadi. Upaya yang dilakukan KPK untuk melawan putusan praperadilan tersebut dengan peninjauan kembali. Saat ini, kata dia, KPK masih menyusun dan mengkaji memori PK tersebut sebelum diserahkan ke Mahkamah Agung.

"Konsep sudah ada, sudah disampaikan ke pimpinan. PK tidak ada batasan spesifik, kami bangun kesamaan persepsi jadi mencari celah-celah," kata Yudi.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Hadi Poernomo terhadap KPK. Dalam putusannya, Hakim Haswandi menyatakan, penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK terhadap Hadi batal demi hukum dan harus dihentikan. Ini karena penyelidik dan penyidik KPK yang saat itu bertugas mengusut kasus Hadi sudah berhenti tetap dari kepolisian dan kejaksaan.

Mereka juga dinilai belum berstatus sebagai penyelidik dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) meski telah diangkat secara resmi oleh KPK. KPK menganggap putusan tersebut membingungkan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasalnya, dalam putusan praperadilan sebelumnya yang mempersoalkan keabsahan penyidik KPK, hakim memutuskan pengangkatan penyidik KPK adalah sah.

Dalam kasus ini, Hadi diduga mengubah telaah Direktur Pajak Penghasilan mengenai keberatan SKPN PPh BCA. Surat keberatan pajak penghasilan 1999-2003 itu diajukan BCA pada 17 Juli 2003 terkait non-performing loan (NPL/kredit bermasalah) senilai Rp 5,7 triliun kepada Direktur PPh Ditjen Pajak.

Setelah penelaahan, diterbitkan surat pengantar risalah keberatan dari Direktur PPh pada 13 Maret 2004 kepada Dirjen Pajak dengan kesimpulan bahwa permohonan keberatan wajib pajak BCA ditolak. Namun, satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final BCA, 18 Juli 2004, Hadi memerintahkan agar Direktur PPh mengubah kesimpulan, yaitu dari semula menyatakan menolak diganti menjadi menerima semua keberatan.

Hadi kemudian mengeluarkan surat keputusan Dirjen Pajak yang memutuskan untuk menerima semua keberatan wajib pajak sehingga tidak ada cukup waktu bagi Direktur PPH untuk memberikan tanggapan atas kesimpulan yang berbeda itu. Namun, Hadi membantah mendapatkan imbalan dari BCA atas penerimaan keberatan wajib pajak tersebut.

error: Content is protected