Pada pertengahan September lalu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyampaikan, pemerintah akan segera merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 130/PMK.011/2013 terkait jenis barang kena PPnBM dengan batas hunian mewah di atas Rp10 miliar.
Adapun standar PPh yang dikenakan pajak sangat mewah tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no. 90/PMK.03/2015 dengan batasan Rp5 miliar yang ditetapkan Mei lalu.
Executive Director Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, bila pemerintah menetapkan PPnBM untuk kategori properti mewah dengan harga Rp10 miliar, maka golongan properti sangat mewah yang terkena PPh perlu dinaikkan dari standar saat ini sebesar Rp5 miliar.
“Pemerintah harus melakukan riset yang tepat sehingga mampu meluncurkan batasan angka atau komponen pajak yang representatif,” ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (5/10).
Menurut Yustinus, potensi pendapatan pajak dari PPnBM dengan tarif tunggal Rp10 miliar sebagai batasan sangat sedikit, karena berbanding lurus dengan minimnya suplai. Namun, hal ini tentunya dapat menjadi insentif agar pengembang semakin giat menyediakan hunian untuk kelas menengah dan menengah ke bawah.
Pengenaan pajak memiliki dua tujuan, yakni pendapatan dari retribusi dan mengarahkan industri bergerak ke sektor yang lebih terjangkau. Sayangnya, pemerintah berpotensi tidak mendapatkan dua keuntungan tersebut akibat pengenaan plafon tarif tunggal dalam PPnBM dan PPh. Pasalnya, pengembang bisa saja menghindar dari PPnBM dengan menetapkan harga Rp9,9 miliar.
Oleh karena itu, sambungnya, pengenaan pajak secara progresif bisa menjadi solusi. Misalnya, untuk hunian dengan harga Rp5 miliar—Rp10 miliar dikenakan PPnBm sebesar 10%, sedangkan rumah seharga di atas Rp10 miliar baru dikenakan PPnBM sejumlah 20%.
Direktur Ekskutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan, pemerintah perlu cepat tanggap dengan segala efek kebijakan, karena dampaknya sangat terasa bagi konsumen. Adanya ketidakpastian dalam hal pajak membuat calon konsumen cenderung memilih menunda pembelian.
Dalam tiga tahun terakhir, penjualan properti memang mengalami tren menurun. Berdasarkan data IPW pada 2014 penjualan turun 60% secara tahunan (year-on-year/ YoY) dibandingkan 2013. Pada semester I/2015, penjualan turun kembali sekitar 23%.
Mengenai ambang batas PPnBM dan PPh, sambung Ali, pemerintah perlu melakukan sinkronisasi karen tidak mungkin standar barang sangat mewah berada di bawah standar barang mewah. Dia mempertanyakan apakah pernyataan plafon PPnBM dan PPh malah tertukar
Associate Director Research Colliers Indonesia Ferry Salanto menuturkan, penetapan batas harga Rp10 miliar memberikan angin segar bagi industri properti, karena konsumen yang membeli hunian dengan harga di bawah itu tidak terbebani bea PPnBM 20%.
Dia berpendapat, satu hal yang perlu diperhatikan ialah pemerintah melakukan pembenahan regulasi perpajakan. Pasalnya, penetapan PPnBM untuk properti mewah sebesar Rp10 miliar tumpang tindih (overlapping) dengan standar PPh untuk kategori properti sangat mewah senilai Rp5 miliar.