Demikian salah satu persoalan yang mengemuka dalam diskusi terbatas harian Kompas di Jakarta, Senin (26/10). Diskusi yang menghadirkan enam panelis tersebut dipandu moderator Rhenald Kasali.
Panelis yang hadir adalah Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Jakarta Ari Kuncoro, Guru Besar Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Denni Puspa Purbasari, Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Achmad Hermanto Dardak, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Juda Agung, dan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Faisal Basri.
Juda menyatakan, per 30 September 2015, pemerintah telah menarik utang Rp 259,3 triliun atau 2,2 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini lebih besar daripada target APBN-P 2015, yakni Rp 222,5 triliun atau 1,9 persen terhadap PDB. Pelebaran defisit sebesar itu ditutup dari penarikan pinjaman siaga IBRD, Grup Bank Dunia, sebesar Rp 28 triliun.
Jika pola penerimaan pajak seperti tahun lalu, Juda berpendapat, defisit anggaran pada akhir 2015 bisa 2,6 persen terhadap PDB. Defisit ini lebih besar daripada perkiraan Kementerian Keuangan, yakni 2,23 persen dari PDB. Skenario Kementerian Keuangan mengasumsikan tambahan utang Rp 37 triliun.
Menurut Juda, Kementerian Keuangan telah menyiapkan tambahan utang dari lembaga keuangan bilateral dan multilateral untuk skenario pelebaran defisit hingga 2,5 persen terhadap PDB. Selebihnya, pemerintah harus menarik utang dari pasar melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) atau menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL).
Padahal, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro sudah menyatakan, tambahan utang tidak akan dipenuhi dari penerbitan SBN di pasar utang, melainkan dari lembaga keuangan bilateral dan multilateral. Alternatif penggunaan SAL kemungkinan tidak akan diambil. Alasannya, SAL biasanya digunakan untuk membiayai kebutuhan anggaran di awal tahun karena penerimaan pajak pada periode itu masih sangat sedikit.
"Saya perkirakan pemerintah akan mematok maksimal defisitnya 2,5 persen," kata Juda.
Perkiraan defisit bisa mencapai 2,6 persen terhadap PDB tersebut berdasarkan asumsi realisasi pajak hingga akhir tahun kurang Rp 270 triliun dari target sebesar Rp 1.294 triliun. Adapun Kementerian Keuangan memperkirakan realisasi pajak kurang Rp 150 triliun dari target.
Anggaran infrastruktur pada APBN-P 2015 sebesar Rp 290 triliun. Saat defisit anggaran sudah maksimal, alternatif yang bisa dilakukan adalah memotong anggaran. Dari berbagai jenis belanja, yang menjadi paling memungkinkan dipotong dalam jumlah signifikan adalah belanja infrastruktur.
Tertinggal
Faisal Basri menyatakan, infrastruktur Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini berbuntut ke mana-mana, termasuk biaya logistik yang tinggi, yang berujung pada daya saing produk Indonesia yang rendah.
Kajian McKinsey menyebutkan, nilai ideal infrastruktur nasional minimal 70 persen dari PDB. Saat ini, di Indonesia baru sekitar 30 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan Brasil dan India, yang masing-masing 53 persen dan 58 persen.
Hermanto menyatakan, infrastruktur menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, infrastruktur di Indonesia masih menjadi beban.
Ari menyatakan, kelemahan sistem infrastruktur dan logistik menjadi persoalan utama di sektor manufaktur. Hal ini berdampak pada biaya logistik yang mencapai 20-30 persen dari biaya total. Hal ini semestinya menjadi prioritas pemerintah.
Jika permasalahan ini dapat diatasi, lanjut Ari, daya saing cabang industri dengan margin paling tipis, sekitar 5-10 persen, akan tertolong. Dengan demikian, industri padat karya dalam negeri bisa bertahan menghadapi produk impor dari Tiongkok, Banglades, dan Sri Lanka.
Denni menyatakan, keragu-raguan memperlancar arus perdagangan dan investasi menimbulkan biaya. Salah satunya berupa pertumbuhan ekonomi yang tak optimal. Sebab, struktur impor Indonesia didominasi bahan baku, barang modal, dan barang konsumsi.
Sejumlah negara telah terlibat dalam skema memperlancar arus perdagangan dan investasi, antara lain melalui Trans-Pasific Partnership (TPP) yang digagas Amerika Serikat. Di wilayah ASEAN, Vietnam dan Malaysia ikut dalam skema tersebut. Dampaknya, investasi langsung dari Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan akan lebih lancar mengalir ke Vietnam dan Malaysia.
Andreas mengingatkan persoalan dalam manajemen pangan nasional. Hal ini mengandaikan kebijakan yang tepat berbasis data yang valid. Niat swasembada juga harus terukur.
"Sepanjang datanya masih karut-marut seperti sekarang, kebijakannya juga akan kacau. Saya sarankan presiden punya tim intelijen data," kata Andreas.