JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen) menghitung ada potensi kerugian akibat faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya (TBTS) atau faktur fiktif sebesar Rp 6,46 triliun pada 2015.
Potensi kerugian penerimaan negara itu berasal dari 10.982 wajib pajak (WP). Perinciannya, Rp 3,28 triliun berasal dari WP di Jakarta, Rp 1,99 triliun dari wilayah Jawa di luar Jakarta, serta dari luar Jawa Rp 1,18 triliun. Direktur Intelijen dan Penyidikan Ditjen Pajak Yuli Kristiyono mengatakan, dari jumlah itu, nilai faktur yang sudah diklarifikasi sebanyak Rp 2,64 triliun.
Sebanyak Rp 1,37 triliun diantaranya sudah terbukti fiktif dan setuju untuk membayar. "Realisasi dari yang setuju untuk membayar sampai saat ini baru Rp 467,67 miliar," kata Yuli, Selasa (6/10).
Untuk meminimalisir potensi kehilangan pajak dari faktur fiktif, Ditjen Pajak akan melakukan penyederhanaan mekanisme penarikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Caranya dengan menyeragamkan faktur dari produsen sampai distributor, seperti di industri otomotif.
Staf Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Ken Dwijugiasteadi menambahkan, salah satu sektor industri yang paling banyak menggunakan faktur pajak fiktif adalah perusahaan semen. Ini dibuktikan dengan jumlah faktur pajak yang beredar lebih banyak, dibanding jumlah barang yang dijual.
Ia memberikan gambaran, sebuah pabrik semen menjual 1.000 sak semen ke beberapa perusahaan. Tetapi faktur yang beredar jumlahnya mencapai 3.000. "Sistemnya nanti mungkin akan diubah seperti pajak otomotif, (faktur) langsung dari pabrikan ke main distributor," tutur Ken. Pihaknya juga mendata ulang perusahaan kena pajak (PKP).
Seperti diketahui, Ditjen Pajak telah memberlakukan faktur pajak elektronik (e-faktur) di wilayah Jawa dan Bali mulai 1 Juli 2015. Ditjen pajak mencatat total PKP selama 2014 yang terdaftar di Jawa dan Bali sebanyak 254.095 orang. Dari jumlah itu hanya 139.595 PKP yang aktif menerbitkan faktur pajak.
Nah, hingga 6 Juli lalu baru 107.719 PKP yang memegang sertifikat penerbitan e-faktur. Sanksi bagi perusahaan yang mengakali kebijakan ini adalah denda 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). E-faktur diharapkan bisa meminimalisir penyelewengan pajak akibat faktur fiktif. "Kami akan lakukan hard enforcement berupa operasi tangkap tangan (OTT)," ujar Yuli.