JAKARTA. Walau terus mendapat protes eksportir, pemerintah keukeuh memberlakukan pajak ekspor atau bea keluar (BK) kakao secara progresif. Pemerintah menilai, BK yang sudah berlaku selama dua tahun itu sangat adil.
Mardjoko, Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan (Kemdag) mengatakan, pemberlakukan BK progresif sudah sesuai kondisi lapangan. "Kalau dikenakan tarif tetap malah menjadi tidak adil," katanya, akhir pekan lalu.
Menurutnya, dengan fluktuasi harga kakao dunia, BK tetap akan lebih memberatkan petani jika harga melorot. Selain itu, adanya pajak ekspor progresif akan mendorong industri hilir dalam negeri untuk berkembang.
Sikap pemerintah ini didukung Sindra Wijaya, Direktur Utama PT Bumitangerang Mesindotama. Sebelumnya Sindra mengatakan, pemberlakuan BK kakao secara progresif membuat suplai bahan baku industri pengolahan kakao terjaga. "Semakin banyaknya industri pengolahan kakao, kita mengharapkan pasokan kakao lebih ditingkatkan," katanya.
Bumitangerang Mesindotama adalah perusahaan pengolahan kakao merek BT Cocoa. Perusahaan ini menargetkan mampu mengolah 110.000 ton bijih kakao, naik dibanding realisasi tahun lalu yang sebesar 60.000 ton.
Namun, bagi Zulhefi Sikumbang, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), aturan BK progresif tidak sejalan dengan pola perdagangan kakao di bursa berjangka. Dia mencontohkan, produsen kakao seperti Ghana, telah menerapkan BK kakao tetap US$ 80 per ton. "Menurut saya BK ideal berkisar Rp 1.000 per kg," katanya.
Menurut Sekretaris Eksekutif Askindo, Firman Bakrie, penerapan BK kakao secara progresif telah mempengaruhi target ekspor kakao. Dengan total produksi tahun ini yang sebesar 500.000 ton, naik 16,3% dari tahun lalu yang sebesar 430.000 ton, ekspor kakao diperkirakan tidak akan melampaui realisasi tahun lalu yang mencapai sebesar 200.000 ton.