JAKARTA. Eksportir kakao keberatan dengan pengenaan pelbagai jenis pungutan. Mereka khawatir, aneka pungutan ini bakal menggerogoti pertumbuhan ekspor kakao Indonesia pada tahun depan.
Beberapa jenis pungutan yang memberatkan eksportir kakao di antaranya pemberlakukan Bea Keluar (BK) 10% sejak Oktober 2015. Selain itu, masih ada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% dan Pajak Penghasilan (PPH) 0,5% kepada eksportir.
Dalam hitungan eksportir, berbagai pungutan ini akan menyebabkan ekspor kakao tahun depan merosot tajam. Jika tahun ini ekspor kakao masih bisa mencapai 40.000 ton, tahun depan diprediksi melorot menjadi 25.000 ton.
Tahun ini, tanpa pemberlakuan pelbagai pungutan itu, ekspor sudah anjlok. Sebab tahun lalu, volume ekspor kakao masih bisa mencapai 63.334 ton.
menurut kalkulasi Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang, sepanjang Januari-Oktober 2015, ekspor kakao mencapai 33.783 ton. Karenanya, Askindo memprediksikan hingga akhir 2015, ekspor kakao Indonesia sekitar 40.000 ton.
Memang, penyebab luruhnya ekspor ini tak cuma penerapan bea keluar. Di sisi lain, produksi kakao Indonesia juga menyusut lantaran banyaknya alih fungsi lahan.
Karena itu, Zulhefi mendesak pemerintah menghapus BK dan PPN yang dikenakan pada ekspor kakao. Menurut dia, seharusnya, BK tidak perlu lagi dikenakan karena sudah banyak industri kakao yang bisa langsung mengolah biji kakao dalam negeri.
Askindo menilai, pengenaan bea keluar dan PPN ini juga tidak menguntungkan petani kakao. Ia menyebut dengan harga kakao saat ini sekitar Rp 27.000 per kilogram (kg), sejatinya ada potensi kenaikan harga Rp 2.000-Rp 2.500 per kg di tingkat petani. Ia berdalih kenaikan harga ini bisa terealisasi apabila pemerintah membatalkan pengenaan bea keluar ekspor dan PPN kakao ekspor.
Selain pengenaan tarif, Askindo juga tidak setuju dengan kebijakan pemerintah untuk mewajibkan fermentasi biji kakao mulai 2016 mendatang. Zulhefi menilai kebijakan ini justru menyusahkan petani kakao. Sebab dengan fermentasi biji kakao, petani membutuhkan waktu sekitar lima hari dan buah kakao menyusut sekitar 4% yang membuat petani tidak mendapatkan keuntungan.
Kalau pun pemerintah tetap bertahan memaksakan wajib fermentasi, Zulhefi meminta agar pemerintah melakukan pengawasan terhadap indsutri yang membeli biji kakao non fermentasi, dan bukan mengawasi para petaninya.
Meskipun eksportir mengeluh, kebijakan pemerintah mewajibkan fermentasi kakao mendapat sambutan positif. Ketua Umum Asosiasi Kakao Fermentasi Indonesia, Syamsuddin Said menyatakan, petani tak akan merugi kalau memfermentasikan biji kakao. Justru, petani bisa untung sekitar Rp 3.000 per kg jika menjual kakao fermentasi, lantaran kualitas biji kakao menjadi lebih baik.
Syamsuddin berharap pemerintah tetap serius melarang penjualan biji kakao non fermentasi mulai Mei 2016 agar pasar biji kakao Indonesia semakin kompetitif. Cara ini dia anggap paling efektif menghadapi persaingan di pasar bebas ASEAN.