Follow Us :

Sejumlah perusahaan eksportir minyak sawit desak pemerintah untuk terus melobi Prancis agar tak memberlakukan pajak progresif
 
JAKARTA. Rencana pemerintah Prancis yang mengajukan draf Amandemen No. 367 tentang Peraturan Perundangan soal Keanekaragaman Hayati akan berdampak pada industri minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia. Pasalnya, dengan beleid tersebut, produk palm oil, palm kernel oil dan coconut oil yang masuk ke Prancis akan terkena pajak progresif.
 
Bila draf ini lolos di Parlemen Prancis dan resmi menjadi Undang-undang (UU) pada 15 Maret 2016 nanti, pajak sebesar € 300 per ton akan dimulai berlaku pada tahun 2017, dan nilainya akan terus naik hingga pada tahun 2020 menjadi sebesar € 900 per ton.
Perusahaan kelapa sawit yang bertindak sebagai eksportir menjadi pihak yang bakal dirugikan dengan kebijakan ini. Untuk itu, sejumlah korporasi berencana mengalihkan pasar ekspor Prancis ke negara lain.
 
Master Parulian Tumanggor, Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia mengatakan, penerapan pajak progresif berpotensi membuat harga minyak sawit ke Prancis tidak kompetitif. Padahal di sana, CPO harus bersaing dengan minyak nabati lainnya, seperti biji bunga matahari, jagung dan kedelai.
 
Karena itu, pengusaha sawit menaruh harapan besar pada pemerintah Indonesia untuk melobi pihak Prancis. "Bea Masuk (BM) yang tinggi dari Prancis ini tidak bisa dilawan perorangan atau perusahaan, tapi oleh Pemerintah Indonesia," ujarnya kepada KONTAN, Minggu (15/2) lalu.
 
Tumanggor bilang, ekspor CPO Indonesia ke Prancis secara volume memang kecil, yakni hanya sekitar 400.000 ton per tahun. Tapi, langkah Prancis ini berpotensi menjalar dan diikuti negara anggota Uni Eropa lainnya dan juga Amerika Serikat.
 
Untuk itu, Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia harus menekan Prancis agar tidak meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pajak tersebut.
 
Garap pasar India-China
 
Toh, kalaupun beleid ini berlaku, Wilmar tengah membidik pangsa pasar baru yang cukup menjanjikan, yakni China dan India. Menurut Tumanggor, saat ini, kedua negara ini tengah mengembangkan industri biodiesel di dalam negeri, sehingga permintaan CPO pasti meningkat.
 
Agar potensi pasar China dan India tersebut dapat digarap maksimal, pengusaha mendorong pemerintah untuk meningkatkan kerjasama dengan dua negara berpenduduk terbesar di dunia tersebut.
Togar Sitanggang, Corporate Affairs Manager Musim Mas Group mengatakan, persoalan pajak progresif CPO di Prancis bukan lagi kepentingan perusahaan, melainkan Negara. Karena itu, ia mendesak pemerintah segera mengatasi kemelut ini. Namun, ia enggan membeberkan strategi perusahaan menghadapi kemungkinan terburuk.
 
Arief Susanto, Corporate Affairs Director PT Cargill Indonesia juga enggan menjelaskan strategi perusahaan bila pajak progresif ini tetap diberlakukan pemerintah Prancis. "Nanti saya akan cek dulu," elaknya.
 
Wilmar, Musim Mas, dan Cargill merupakan korporasi sawit yang rutin mengekspor CPO ke Prancis. Bahkan, ketiganya tergabung dalam Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) yang menjual CPO ramah lingkungan ke Uni Eropa.
 
Hanya saja, tidak semua perusahaan kelapa sawit kena dampak pengenaan pajak progresif Prancis itu. PT Gozco Plantation Tbk dan PT Dharma Satya Nusantara Tbk, misalnya, aman dari dampak rencana tersebut karena tidak mengekspor ke Prancis. Edbert Effendy, Sekretaris Perusahaan Gozco dan Paulina Suryanti, Sekretaris Perusahaan Dharma Satya kompak bilang bahwa pihaknya hanya fokus menjual CPO ke pasar domestik.
error: Content is protected