JAKARTA. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengusulkan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ekspor mutiara. Langkah ini merupakan upaya penertiban kepada eksportir mutiara yang kerap melakukan ekspor mutiara secara ilegal sehingga merugikan negara dalam jumlah yang besar.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bilang, pengenaan PPN ini lebih ke pertimbangan keadilan. Selama ini, usaha budidaya tidak ada biaya pungutan untuk ekspor. Padahal, pengusaha yang menjual mutiara di pasar domestik mesti menyetor PPN 10% dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) sebesar 75%. Hal itu memicu praktik ekspor ilegal.
Sekedar informasi, belum lama ini, KKP bersama Kementerian Keuangan (Kemkeu) berhasil menggagalkan ekspor mutiara ilegal yang merugikan negara hingga ratusan juta dollar AS.
Makanya, Susi mengusulkan kepada Kemkeu untuk memungut PPN ekspor mutiara. "Sudah sepatutnya ekspor mutiara dikenakan PPN," ujar Susi, Selasa (12/1).
Susi menyebut, sejumlah alasan ekspor mutiara harus membayar pungutan. Pertama, mutiara termasuk barang yang bukan kebutuhan, bukan konsumsi, dan bukan padat karya. Kedua, pengusaha mutiara sangat tertutup terhadap tenaga kerja lokal. "Pengusaha juga seringkali menghindar dari Pajak Penghasilan (PPh), baik perorangan maupun badan," tambah Susi.
Sebagai informasi, United Nation Commodity Trade mencatat nilai perdagangan mutiara Indonesia tahun 2014 sebesar US$ 28,74 juta. Indonesia menempati posisi kesembilan negara penghasil mutiara. Adapun total nilai perdagangan mutiara dunia pada tahun 2014 mencapai US$ 2,01 miliar.
Susi menyatakan, seharusnya nilai perdagangan mutiara Indonesia lebih besar lagi. Dia memperkirakan nilai ekspor mutiara ilegal yang tidak tercatat lebih dari US$ 200 juta.
Namun, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menolak usulan Menteri Susi. Menurut Bambang, solusi untuk ekspor mutiara ilegal bukan tambahan pajak, melainkan membuat pengusaha beroperasi secara legal.
Laporan ekspor harus dicatat karena Indonesia butuh devisa. "Itu lebih penting daripada bicara insentif atau disinsentif," ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Budidaya Mutiara Indonesia (Asbumi) Anthony Tanios enggan mengomentari polemik ini. Dia bilang, selama ini ekspor ilegal adalah mutiara reject yang kualitasnya rendah.