Follow Us :

Potensi Penerimaan dari Pengampunan Pajak Rp 95 Triliun
 
JAKARTA, kompas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyiapkan rancangan undang-undang tentang pengampunan pajak khusus repatriasi dana dari luar negeri. RUU tentang pengampunan pajak itu akan menjadi inisiatif pemerintah untuk dibahas bersama parlemen.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Sigit Priadi Pramudito, dalam kunjungan ke Redaksi Kompas, di Jakarta, Kamis (12/11), memaparkan posisi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tentang wacana pengampunan pajak yang konsepnya terus berubah. Intinya, DJP ingin menggelar program pengampunan pajak terhadap repatriasi aset warga negara Indonesia di luar negeri.

Alasannya, pengampunan pajak yang mencakup aset di dalam negeri akan lebih banyak menimbulkan kontroversi. Lagi pula, DJP optimistis bisa memitigasi aset di dalam negeri.

Global Financial Integrity dalam laporannya menyebutkan, 187,84 miliar dollar Amerika Serikat (AS) dana ilegal terbang ke luar dari Indonesia selama 2003-2012. Per tahun rata-rata 18,78 juta dollar AS. Uang ilegal yang dimaksud adalah uang yang diperoleh, ditransfer, dan dibelanjakan secara ilegal.

Saat ini, menurut Sigit, DJP telah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak terhadap Dana Repatriasi tersebut. Direncanakan, draf RUU itu akan dipresentasikan kepada Presiden Joko Widodo.

Sigit mengakui, di pemerintahan, masih ada perbedaan pandangan. Masih ada pejabat yang menghendaki pengampunan pajak berlaku terhadap aset di luar dan dalam negeri atas pertimbangan keadilan. Oleh sebab itu, DJP menyiapkan dua RUU terkait pengampunan pajak itu. Keputusan akhir diserahkan kepada Presiden.

RUU itu ditargetkan dibahas bersama DPR mulai akhir 2015 sehingga tuntas awal 2016. Dengan demikian, program pengampunan bisa dimulai awal 2016 sampai 31 Desember 2016. Target pajak yang bisa diperoleh Rp 95 triliun.

Tarif untuk semester I-2016 adalah 4 persen dan semester II-2016 adalah 6 persen. Terhadap dana repatriasi disyaratkan disimpan dalam bentuk surat utang negara dengan tenor 2 tahun untuk menjamin dana-dana itu masuk ke sistem keuangan nasional dan memberikan dampak positif terhadap perekonomian.

Ruang lingkup pengampunan hanya pidana pajak. Soal data aset yang dilaporkan, Sigit menjamin kerahasiaannya. Namun jika di kemudian hari, aparat penegak hukum, dengan caranya sendiri, menemukan persoalan pidana korupsi atas aset yang dilaporkan, proses hukum bisa dilakukan.

Masih mentah

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan, model dan muatan pengampunan pajak yang terus berubah menunjukkan bahwa konsep itu masih mentah di internal pemerintah. Hal itu semakin tidak jelas ketika inisiatif beralih ke DPR.

Pengampunan pajak, menurut Prastowo, diperlukan. Namun, pengampunan pajak memerlukan fondasi kuat, antara lain penguatan sistem teknologi informasi, infrastruktur hukum pendukung, konsensus pengampunan, dan kesiapan aparat penegak hukum.

"Lebih baik kerjakan dulu fondasinya. Matangkan konsepnya. Jika konsep yang mentah dipaksakan, risikonya besar untuk pemerintah," kata Prastowo.

DJP awalnya merencanakan program pengampunan pajak pada 2017. Wacana ini digulirkan dalam rapat kerja dengan DPR pada April 2015. Sejak saat itu, inisiatifnya bergeser ke DPR dan modelnya berkembang. Bukan hanya sebatas pengampunan pidana pajak, melainkan juga mencakup pidana umum dan pidana korupsi. Karena itu, judulnya diubah jadi pengampunan spesial.

Menuai banyak kritik, wacana ini menghilang dari permukaan. Namun, tiba-tiba pada 6 Oktober, 33 anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengusulkan RUU Pengampunan Nasional menjadi agenda pembahasan undang-undang yang bersifat prioritas. Esensi RUU Pengampunan Nasional sama dengan pengampunan spesial. Cakupannya, dalam dan luar negeri.

error: Content is protected