Follow Us :

JAKARTA. Statusmu, harimaumu! Istilah itu akan sangat cocok untuk menggambarkan kegemaran masyarakat menggunakan media sosial (social media)  seperti  Facebook, Twitter dan lain-lain.  Sebab informasi  yang  diunggah  di media sosial kini akan dimanfaatkan Ditjen  Pajak untuk mengejar penerimaan negara.Sebelumnya,  pekan  lalu terdengar kabar melalui pesan berantai yang mempertanyakan sepak terjang Ditjen Pajak yang akan menggunakan  informasi di media sosial demi menjaring  data wajib  pajak (WP).
 
Informasi  dari media sosial  itu kemudian di-crosscheck  dengan  rekening  tabungan  dan  setoran  pajak, yang didapat dari Bank Indonesia (BI). Jika tidak sinkron, WP akan dipanggil oleh Ditjen Pajak untuk mengklarifikasi.
 
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Mekar Satria Utama membenarkan kabar  di  pesan berantai  itu.
Mekar mengakui, biasanya di media sosial terdapat data seputar anggota keluarga, kegiatan sosial, lokasi rumah, sekolah, dan bisnis, hingga  liburan ke luar negeri. Data-data itu dapat menjadi salah satu pegangan otoritas pajak untuk mengetahui  jumlah  pajak yang seharusnya dibayar.
 
Ia mencontohkan, anggota keluarga salah satu WP yang menempuh pendidikan di luar negeri bisa mengindikasikan sumber penghasilan  wajib pajak cukup tinggi, jika tanpa beasiswa. Selain itu, kepemilikan aset  seperti mobil dan rumah mewah juga bisa diketahui dari jejaring sosial. "Lokasi liburan juga bisa menambah data di profil masing-masing wajib pajak," ujar Mekar ke KONTAN, Minggu (11/10).
Ditjen Pajak menggunakan semua jenis media sosial, seperti Facebook, Twitter, Lin-kedIn,  Instagram,  Google+ dan  lainnya untuk menggali data potensi pajak. Pemberitaan media juga bisa menjadi sumber data  lain untuk mengejar penerimaan pajak.
 
Upaya ini, menurut Mekar, sebenarnya sudah dilakukan sejak media  sosial muncul. Namun, saat ini memang lebih ditingkatkan, seiring adanya Peraturan Menteri Keuangan PMK nomor 29/PMK.03/2015 dan PMK Nomor 91/PMK.03/2015.
 
Awas privasi terlanggar Cara ini ampuh untuk memperoleh data para WP. Hal ini tercermin dari kian meningkatnya jumlah surat himbauan dari para WP yang pelaporan pajaknya tidak sesuai dengan penghitungan petugas pajak.
 
Per Agustus  2015,  jumlah surat himbauan pembenaran pajak meningkat  sekitar  3,5 kali lipat dibandingkan periode yang sama 2014. "Sumber data tidak akan disebut di surat,  tapi  disampaikan  pada saat konseling," kata Mekar.
Pengamat Pajak Universitas Pelita Harapan Ronny Bako mengatakan, otoritas fiskal ini harus berhati-hati jangan sampai upaya menggunakan media sosial dalam menggali data pajak  bertentangan  dengan hak privasi. "Ketika ada data diambil dari media sosial, itu masuk ranah privasi, dan bisa kena  Undang-Undang  ITE (Informasi dan transaksi elektronik)," ujarnya.
Oleh karena itu, Ditjen Pajak  seharusnya  lebih  dulu memperkuat  sumber  sekunder selain data media sosial. Seperti bekerjasama dengan Ditjen  Imigrasi atau otoritas pelabuhan. Ditjen pajak juga bisa memaksimalkan teknologi  Kartu  Tanda  Penduduk (KTP) elektronik.
error: Content is protected