Follow Us :

JAKARTA. Di tengah misi menggolkan RUU Tax Amnesty dan memenuhi target setoran pajak, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Sigit Priadi Pramudito malah mundur mendadak. Keputusan ini sungguh di luar skenario kendati sebelumnya sempat berembus kabar yang menyebut rencana penggantian Sigit.
 
Hanya Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro mengatakan, alasan pengunduran diri Sigit lantaran tak sanggup mengejar penerimaan pajak  sesuai target Anggaran pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015.  "Surat diajukan Selasa pagi karena beliau menganggap tak mampu mengejar target," ujar Bambang,  (1/12).
Agar tak terjadi kekosongan di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, posisi Sigit diisi Staf Ahli Dirjen Pajak Ken Dwijugiastadi sebagai pelaksana tugas Dirjen  Pajak. Ken yang bertugas mulai hari (2/12) ini bakal mendapat warisan yang bisa menjadi bom waktu.
Yakni kekurangan penerimaan pajak (shortfall) yang menganga. Sampai 27 November, penerimaan pajak baru Rp 806  triliun atau 64% dari target. Sisa satu bulan di  tahun  ini, Ken harus mengejar penerimaan pajak hingga senilai Rp 430 triliun.
Sigit mengatakan, dia mengundurkan diri karena gagal memimpin Ditjen Pajak mencapai target penerimaan pajak di  atas 85%. Padahal, batas toleransi pemerintah minimal 85%. "Perhitungan saya, sampai akhir tahun, hanya 80%-82%," jelas Sigit.
Dus, jika hitungan Sigit benar, defisit anggaran dipastikan akan menganga lebih lebar lagi. Namun, proyeksi Menkeu, defisit anggaran terburuk tahun ini 2,7% dari PDB. Ini dengan proyeksi penerimaan pajak bisa sampai 85% dan pengeluaran pemerintah 92% hingga 93%.
 
Lantas dari mana, pemerintah bakal menambal defisit anggaran? Bambang mengaku akan menarik pinjaman multilateral. Hanya, Wakil Presiden Jusuf Kalla  mengungkap, pemerintah  akan  menghemat anggaran proyek infrastruktur dan mencari utang.
Skenario lain adalah mendapat windfall dari kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty dengan  obral  tarif pengampunan pajak mulai 1,5% hingga 6%.  Dari kebijakan  ini, pemerintah berharap bisa mengantongi penerimaan pajak sampai Rp 80 triliun.
Hanya, penerimaan ini sulit bisa tercapai lantaran kebijakan ini  baru akan selesai 18 Desember 2015. Jika kebijakan  langsung berlaku, penerimaan pajak baru bisa dinikmati 2016.  
Dengan performa seperti itu, risiko fiskal ada di depan mata. Ini pula yang barangkali membuat pemerintah menaikkan target penerbitan global medium termnotes (MTN). Laporan Moody's Investors Service kemarin (1/12) menyebut, Indonesia akan menambah global MTN menjadi senilai US$ 40 miliar dari sebelumnya sekitar US$ 30 miliar.
Dus, penerbitan global MTN ini nampaknya juga tak imun dari risiko kenaikan permintaan imbal hasil lantaran pemerintah kepepet cari utang.
error: Content is protected